Leicester City dan Pembalikkan (Nyaris) Mutlak
Ket.Gambar: Jamie Vardy saat mencetak gol indah ke gawang Liverpool/Dailymail.co.uk
Luar biasa. Ungkapan ini serasa tak berlebihan bila
disematkan pada Leicester City. Tim promosi ini tampil menggila, meski
sebelumnya tak diperhitungkan. Tampil konsisten dalam 14 laga tersisa, bukan
mustahil The Foxes akan mengulangi sejarah indah Norwich city musim 1992/1993.
Kegemilangan Jamie Vardy dan kolega tak hanya meluluhlantahkan berbagai
prediksi dan ekspektasi. Para petaruh dan jago bandar sekalipun tentu setengah
tak percaya melihat nasib tim-tim unggulan saat ini. Terutama melihat sang
juara bertahan, Chelsea tengah terseok-seok merangkak dari tubir degradasi,
meski dalam sepakbola tak pernah ada yang pasti.
Tak hanya itu. Melihat
performa Rubah Biru, kita pun jadi mahfum, persepsi dan paradigma possession
ball mengalami pembalikkan nyaris mutlak di tangah armada Claudio Ranieri.
Penguasaan bola tak menjamin gol, apalagi kemenangan. Kemenangan tak bisa
digaransi dengan kendali permainan, termasuk juga lontaran peluang.
Tengok
saja, 13 dari 14 pertandingan Leicester musim ini dicapai dalam posisi
inferior-untuk mengatakan pada tingkat penguasaan bola yang lebih rendah dari
sang lawan. Bahkan dengan prosentase penguasaan bola yang sangat minim
sekalipun Leicester mampu meraih kemenangan. Contah nyata terjadi saat mereka
mengandaskan West Ham, Agustus tahun lalu. Saat itu penguasaan bola Leicester
hanya 30% namun laga berakhir dengan kemenangan 2-1. Hal yang sama kembali
terjadi saat menumbangkan Liverpool di King Power Stadium dengan dua gol
striker maut mereka, Vardy.
Pengalaman Leicester mengajarkan kepada para
pelatih, bahwa penguasaan bola tak jadi jaminan utama untuk mendulang tiga
poin. Manajer Manchester United, Louis van Gaal pun mengakui itu. Leicester
menang tanpa harus menguasai bola.
Lantas apa yang terpenting? Dari pengalam
Leicester, jawaban ada pada kecermatan dan efektivitas. Ranieri pandai
memaksimalkan sumber daya yang dimiliki pemainnya. Dengan modal sumberdaya yang
tak jauh berbeda dengan yang ditinggalkan pendahulunya, Nigel Perason, Ranieri
memberikan sentuhan yang membuat setiap pemain menjadi bagian penting, satu
kesatuan tak terpisahkan. Ranieri merangkai satu per satu pemain dalam sistem
permainan yang efektif, dengan selingan pizza dan sampanye.
"Dia punya
sekelompok pemain untuk bekerja dalam sebuah struktur. Sebagian besar adalah
memahami kemampuan kelompok dan menemukan metodologi. Dia datang dan melihat
apa yang cocok. Dia menempatkan pasak bulat di lubang bundar,"pundit BBC
Sport, Pat Nevin memberikan penjelasan.
Ket.gambar: Claudio Ranieri.
Persisnya? Dengan
modal pemain yang bertipikal cepat dan pekerja keras, Ranieri tak memaksa anak
asuhnya untuk berjuang mati-matian merebut bola dan mengendalikan permainan. Ia
hanya minta mereka untuk sigap menahan diri dan cermat memanfaatkan peluang.
Ya, peluang dengan serangan balik cepat dan total.
“Bila senjada terbaik Anda
adalah pemain yang sangat cepat, maka tidak ada gunanya menggenggam penguasaan
bola dan bermain ke dalam karena akan membuat mereka lebih sulit untuk mencari
ruang,”lanjut Nevin.
Saya kira yang dikatakan sang komentator tak berlebih.
Lebih tepatnya, tepat. Perjalanan Leicester untuk terus memberikan
pembuktian terbalik ini masih terus diuji. Namun setidaknya, sejauh ini mereka
sudah memberikan pelajaran bahwa penguasaan bola tak selalu berakhir
kesuksesan, dan bagi kita para penikmat, pertandingan tak harus selalu menarik
dengan penguasaan bola semata.
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana, Jumat 06/02/16
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/charlesemanueldm/leicester-city-dan-pembalikkan-nyaris-mutlak_56b46707319373f8165c9fb3
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/charlesemanueldm/leicester-city-dan-pembalikkan-nyaris-mutlak_56b46707319373f8165c9fb3
Comments
Post a Comment