FERNANDO LUGO DAN OPSI BERPOLITIK GEREJA
Warga dunia tentu masih mengingat warta
terpilihnya seorang uskup menjadi kepala negara. Berita heboh itu berhembus
dari sebuah wilayah di bagian tengah Amerika Latin yakni Paraguay. Pada 20
April 2008 Fernando Lugo dipilih oleh mayoritas warga Paraguay menjadi
presiden. Ini merupakan sejarah baru bagi negara tersebut. Fernando Lugo
menjadi religius pertama yang menduduki tahta kepresidenan di negara itu. Ia
juga memutuskan rantai dominasi partai Colorado yang telah menacapkan akar
kekuasaannya di negara tersebut selama 61 tahun.
Pilihan politis yang diambil Fernando Lugo menimbulkan
polemik dalam Gereja Katolik. Seorang tertahbis tidak diperkenankan terjun ke
arena politik praktis. Hukuman berupa suspensi
a divinis diberikan Vatikan atas
pelanggaran yang dibuatnya.
Mungkin Lugo memiliki pertimbangan lain:
membawa rahmat imamat yang tetap melekat padanya ke forum publicum. Semua warga Paraguay adalah ”domba-domba”
gembalaannya dan wilayah Paraguay dengan kompleksitas persoalan adalah
parokinya yang baru.
Fernando Lugo memperpanjang daftar kaum
tertahbis yang berpaling ke dunia politik. Ia kembali menorehkan sayatan pada
”luka lama” Gereja Katolik dengan
mengabaikan larangan otoritas Gereja untuk tidak terjun ke dunia politik
praktis. Inilah kenyataan yang sukar ditampik dan tantangan besar yang mesti
dihadapi Gereja Katolik dewasa ini.
Opsi Berpolitik Gereja
Pilihan berpolitik yang ditekuni Fernando
Lugo menjadi bagian penting dari perwujudan hakikat seorang manusia yang tidak
terlepas dari kehidupan bersama. Esensi zoon
politikon yang disandang setiap
orang menuntut keterlibatan dan keberpihakannya dalam kehidupan bersama.
Masyarakat luas adalah wilayah pergaulan setiap orang. Di dalamnya ia secara penuh
menunjukkan diri sebagai seorang makhluk politis dengan berbagai cara. Muara
tindakan yang dilakukan yakni kesejahteraan bersama (pro bono publico).
Gereja sebagai tubuh mistik Kristus begitu
dekat bahkan menyatu dengan dunia. Gereja menjadi bagian dari dunia karena
Gereja berada dalam dunia. Meskipun bukan berasal dari dunia, tetapi Gereja
tidak menancapkan kakinya di luar dunia. Eksistensi Gereja menjadi nyata ketika
Ia berdiri tegak di dunia. Wilayah keberadaannya menjadi jelas saat Ia
merangkum dunia, sebab dengan demikian Gereja tidak menyangkal kostruksi hakiki
dirinya.
Umat Katolik tidak bisa memisahkan diri
dari kehidupan bermasyarakat. Kehidupan kita berjalan dalam lingkungan sosial
dan politik tertentu. Dalam arena itu, umat Katolik sesungguhnya sedang
bersinggungan dengan masalah-masalah sosial-politik. Sebagai sebuah institusi,
agama Katolik bukanlah partai atau lembaga politik. Tetapi setiap orang adalah
bagian dari warga polis (negara) dan
memainkan peran sebagai warga negara yang beragama. Gereja melalui dekrit Gaudium et Spes mengatakan secara jelas peran serta setiap
orang Katolik dalam konteks kehidupan bermasyarakat:
”Kegembiraan dan harapan, duka dan
kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang
menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid
Kristus juga ... (GS 1). ”
Panggilan
tersebut dapat dicapai oleh setiap orang Katolik dengan memanifestasikan
filosofi biblis yakni menjadi ragi, terang (bdk. Luk 11:33-36) dan garam bagi dunia
(bdk. Mrk 9:43-50). Menjadi ragi berarti menjadi seorang Katolik yang memiliki
pengaruh konstruktif dalam membentuk “adonan” kehidupan yang berkomposisikan
kemajemukan sosial-budaya sehingga menjadi
suatu tatanan kehidupan yang aman, damai dan sejahtera.
Garam
merupakan bahan pengawet yang mampu mencegah kebusukan dan membuat makanan menjadi sedap. Adanya garam dalam setiap hidangan, akan
mengundang selera kita untuk menikmatinya. Karenanya, setiap orang Katolik
harus mampu menjadi garam yang mengawetkan kebajikan-kebajikan dan nilai-nilai
konstruktif dalam hidup. Orang Katolik harus mampu menjadi katalisator yang
men-stimulus sesamanya untuk
berloma-lomba mendedikasikan diri dan segenap kemampuannya bagi kepentingan
banyak orang. Di samping itu, orang Katolik sejatinya mampu menjadi suluh di
tengah kegelapan, penderitaan dan persoalan sebagai pembawa terang bagi
sesama. Misi sebagai pembawa terang
meniscayakan kesadaran personal sebagai sumber
terang itu sendiri.
Konkretisasi atas tuntutan menjadi terang,
garam dan ragi dapat diaplikasikan dalam berbagai cara. Seorang Katolik mesti
mampu mengambil sikap untuk melibatkan diri sebagai bagian dari the solver of the problems. Sikap
non-diskriminasi dalam setiap segmen kehidupan, option for the poor, menjadi pejuang JPIC (Justice, Peace and Integration of Creation), menghargai Hak Asasi
Manusia dan menjunjung tinggi persatuan dalam perbedaan (unity in diversity) perlu ditegakkan. Umat Katolik mesti berada di garda depan
untuk menjadi kekuatan oposisi (masyarakat kontras) yang menentang kekuatan
otoriter serta berbagai bentuk pengambilan kebijakan yang tidak populis dan
pro-rakyat. Kita tidak boleh bersikap diam di hadapan setiap persoalan yang ada
karena jika tidak sikap diam kita merupakan bentuk legitimasi atas setiap
persoalan dan sesungguhnya kita sedang menggali kubur untuk diri kita sendiri.
Akhirnya, kita perlu memegang salah satu
prinsip penting yakni tujuan tidak harus menghalalkan segala cara, finis iustificat medium. Setiap orang
Indonesia yang terpanggil menjadi religius atau
rohaniwan perlu juga belajar dari cara hidup Rm. Y.B Mangunwijaya, Pr, P.
Van Lith dan Mgr. Soegijapranata, Sj
yang dengan teguh menghayati sakramen
imamat suci dalam erena public dan politik sampai akhir hayat.
Mereka terjun dan terlibat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara untuk
membawa kesejahteraan bagi banyak orang dan tidak pernah bertendensi untuk
mencari kekuasaan (bonum individuum)
dan berjuang mendapatkan jabatan politis tertentu.
Comments
Post a Comment