TIGA WARNA KENANGAN
(Cerpen Gusty Fahik)
I
Danau itu punya tiga warna,
sayang
Konon di puncak bukit itu
pernah bertakhta seorang penguasa yang berhak menentukan nasib setiap arwah
yang beralih dari dunia ini ke alam akhirat. Setiap arwah punya tempat masing-masing
di sana. Warna-warna danau itu melambangkan tempat setiap arwah. Karena itu
berusahalah untuk hidup baik selama di dunia ini bila engkau ingin meraih
tempat yang baik di sana.
Di situ kita pernah
bersama menghabiskan waktu yang amat terbatas. Mengapa Tuhan harus menjadikan
waktu yang terbatas buat manusia sementara Dia sendiri memiliki waktu yang tak
terbatas.
“Bukankah itu berarti Ia
seorang yang amat egois?”
“Dia tidak egois, sayang.
Dia memberi kita yang terbatas agar kita tahu menggunakannya secara bijaksana,
agar kita tahu bersyukur atas apa yang sedang kita nikmati, dan agar kita tahu
mengisinya dengan hal-hal yang bermakna.”
“Tidakkah yang kekal itu
lebih bermakna?”
“Sayang, justru yang
sementara itu lebih bermakna sebab kita sedang menciptakan makna kesementaraan
untuk membikin abadi apa yang sebenarnya tidak abdi, ialah makna itu sendiri.”
Tentang makna, itulah yang
kita percakapkan ketika kita berada di antara ketiga warna danau itu. Kita
tahu, danau itu bukan hanya punya tiga warna sebab warna-warna yang waktu itu
nampak ternyata tidak abadi. Tahukah kau bahwa warna-warna itu sekarang telah
berubah menjadi warna-warna lain, warna-warna yang tidak pernah kita bayangkan
sama sekali. Warna putih yang dulu kau sukai kini telah berubah menjadi hitam.
Warna biru telah berubah menjadi hijau muda,. Sementara warna cokelat tua
ternyata telah menggantikan tempat warna merah. Tak ada apa pun yang abadi di
bawah matahari, semuanya berubah. Yang tetap ialah perubahan itu. Hati kita pun
kini telah berubah.
“Kalau boleh meminta
sesuatu pada Tuhan sekarang, aku ingin meminta agar kita berdua berada
selamanya di sini. Kita jadikan danau-danau ini tempat tinggal kita, surga
kita, surga cinta kita,” katamu waktu itu.
“Itu hanya mungkin kalau
kita meninggal kelak, sebab arwah kita akan bersemayam dalam keabadian di
sini.”
“Aku takut kita tidak akan
pernah bersama di sini. Jangan sampai aku di danau berwarna putih sementara
engkau di danau berwarna merah,” engkau
berkelakar.
“Itu tergantung amal kita
di dunia. Kalau ingin tetap bersama, kita harus hidup baik, atau hidup jahat
selama berada di dunia.”
“Aku ingin hidup baik
dengan mencintaimu dan semua orang selama sisa hidupku di dunia ini.”
Kita terus berbicara
tentang kebaikan, kejahatan, cinta benci, rasa sakit, pernikahan , punya anak,
sampai soal kematian, sementara kabut turun perlahan mengisi setiap kawah
dengan amat perlahan. Lalu angin berhembus membawa kabut beranjak meninggalkan
setiap kawah yang serupa rumah yang selalu disinggahinya, sebuah rumah yang
juga sebagai dunia kecil baginya. Kabut yang berlalu dari setiap kawah seakan
ingin membiarkan kita memandang dan mengagumi setiap warna dalam danau itu.
Engkau lalu bertutur.
“Alkisah setelah
membinasakan dunia dengan air bah Tuhan ingin berdamai dengan alam ciptaan-Nya.
Sebagai tanda perdamaian Ia menaruh pelangi di ujung cakrawala agar manusia
tahu bahwa Tuhan itu setia akan janji-Nya. Tuhan memikirkan bagaimana Ia harus
menggambar warna-warni pelangi itu. Ia ingin turun ke bumi dan menggambar
pelangi dari satu tempat di bumi. Ia
mencari-cari tempat yang kering agar Ia bisa duduk dan mulai menggambar. Dari
surga mata-Nya menangkap sebuah bukit yang telah kering dan cukup rata. Tuhan
turun ke puncak bukit itu membawa serta semua peralatan menggambar milik-Nya.
Ia mulai membuat setiap lengkungan pelangi dengan warna-warni yang dibawa-Nya.
Tuhan lupa bahwa ia telah lebih dahulu menyuruh angin bertiup untuk menyurutkan air
bah. Maka Ia terpaksa harus menggambar dengan tergesa-gesa sebab angin kencang
terus berhembus sedang Tuhan tidak memakai baju hangat atau jaket. Karena tidak
tahan terhadap hembusan angin maka Tuhan kembali dengan agak terburu-buru
setelah menyelesaikan lengkung-lengkung pelangi. Dan Ia pergi meninggalkan
sebagian peralatan menggambar milik-Nya. Apa yang ditinggalkan-Nya itulah yang
kini kita saksikan di hadapan kita, tiga buah kawah di puncak bukit dengan
warna-warni yang begitu indah,” engkau mengakhiri kisahmu dengan senyuman
simpul.
Aku tahu engkau telah
membaca tuntas kisah Alkitab tentang Nabi Nuh dan dengan imajinasimu engkau
membuat kisahmu yang berhubungan dengan danau itu.
“Kalau demikian berarti
tempat ini dulu pernah dipijaki Tuhan, bahkan Ia pernah duduk di sini untuk menggambar
pelangi,” aku berujar.
“Kalau engkau berpegang
pada kisahku maka itu benar, sebab tempat ini pun dipandang amat sakral oleh
masyarakat kita.” Lalu engkau menatapku,
dan kulihat ada cinta di matamu, cinta yang begitu tulus dan indah, seindah
danau itu. Hari itu, aku adalah lelaki paling bahagia di dunia.
II
Danau itu punya tiga warna,
sayang
Tiga belas tahun setelah
percakapan kita, aku kembali ke sana. Warna-warni danau itu telah berubah oleh
waktu. Rupanya kita lupa bahwa waktu adalah pencuri paling alami yang tak
pernah kita sadari kehadirannya. Ia bukan saja mencuri warna-warni danau yang
pernah kita lihat dulu, ia juga telah mencurimu dariku. Namun, waktu juga ternyata
adalah pencuri paling bijaksana, sebab ia toh tak pernah mencuri kenangan dari
manusia. Ia tak akan sanggup melakukannya sebab setiap kenangan adalah
pemberian waktu dan waktu tak pernah mengambil kembali apa yang telah
diberikannya. Waktu, kekasihku, telah membawamu pergi, tetapi ia pernah memberi
lembaran-lembarannya untuk kujadikan tempat kita melukis setiap kenangan.
Setiap kali kurindukan dirimu aku selalu membuka lembaran waktu, sekedar
membaca lagi peristiwa-peristiwa yang pernah kita goreskan di atasnya. Kita
memang tidak pernah abadi, tetapi kenangan tentang kita selalu abadi dalam
waktu.
Menatap warna-warni danau
itu, aku teringat akan keindahan matamu, mata terindah yang pernah menatapku.
Danau itu berbicara tentang dirimu, tentang kenangan kita, tentang hidup kita,
tentang kefanaan kita. Sayang, engkau tak lagi ada di sana bersamaku. Di puncak
bukit itu, di tepi danau berwarna hijau, aku teringat akan ceritamu tentang
pelangi. Betapa aku rindu untuk ingin mendengarmu menuturkan kisah itu lagi.
Tahukah kau aku tak pernah akan bosan mendengar kisah yang engkau tuturkan.
Kisah tentang kesetiaan Tuhan, dan cinta-Nya pada dunia. Namun, engkau tak ada
di sana.
Aku berdiri menatap kabut
yang perlahan beranjak meninggalkan permuakaan air, bersama angin menerpa
wajahku, lembut sekali. Aku terus menatapnya dengan harapan akan melihat wajahmu
tersenyum dari dalam kawah itu. Bukankah danau hijau adalah tempat
bersemayamnya orang-orang muda, seperti dirimu ketika meninggalkanku?
Kita memang tak akan
pernah bersama entah di dunia maupun di alam baka. Aku telah tua kini, dan
kalau waktuku menjelang, aku tak mungkin bersamamu di danau berwarna hijau itu.
Tempatku ialah danau berwarna cokelat tua. Sayang, kini aku ingin mensyukuri
waktu. Mengapa Tuhan memberi kita waktu yang fana, ialah agar kita mengisinya
deengan bijaksana, dengan sesuatu yang bermakna, agar kita tahu mensyukurinya.
Kini aku bersyukur atas setiap detik yang pernah diberikan Tuhan kepadaku,
terlebih detik-detik ketika kita berdua bersama mengukir kenangan. Manusia
selalu hidup untuk mengukir kenangan yang bakal ditinggalkannya ketika ia
kembali kepada keabadian.
Kulihat air danau beriak
kecil, membentuk lengkungan yang memantul kembali setiap kali menyentuh bibir
tebing. Bagiku lengkung riak-riak itu
adalah lengkung senyum di bibirmu. Kutahu engkau sedang tersenyum padaku dari
tempatmu di dasar danau itu. Senyum yang pernah membuatku merasa sebagai
laki-laki paling bahagia di dunia. Hari
ini rasa itu kembali menguasaiku. Aku masih laki-laki paling bahagia di dunia.
Danau itu punya tiga warna,
sayang.
*Pernah dimuat di Pos Kupang, Minggu, 30 November 2008
Comments
Post a Comment