MENGENANG 70 TAHUN LEDALERO
Ledalero, bukan pilihan pertama…
Prioritas misi di era 20-an adalah mempersiapkan
tenaga imam pribumi. Monsinyur Verstraelen, di tahun 1926 coba menawarkan ide itu. Suatu saat generasi
baru mesti menggantikan tugas misionaris-misionaris asing yang sudah tua.
Lembaga pendidikan seminari merupakan sebuah wacana yang tidak bisa tidak
mengingat pendidikan iman di daerah Nusa Tenggara (Sunda Kecil, waktu itu)
sudah lama terjadi. Sebelum misionaris Serikat Sabda Allah datang, sudah ada
misionaris Yesuit, Dominikan dan Fransiskan yang berkarya di wilayah Nusa
Tenggara.
Dasawarsa pertama berlalu dan meninggalkan cerita.
Sejarah awal berdirinya seminari misi di pulau Flores, persisnya adalah kisah
nekat orang-orang yang menamakan dirinya misionaris. Sejak Maximum Illud, ensiklik
Paus Benediktus XV di tahun 1919 dan keberanian para SVD memulai sebuah
seminari di Sikka dan Mataloko, masa depan misi di tanah Flores mulai
membukukan kisahnya sendiri. Apa yang awalnya dianggap ”coba-coba” dan mungkin
dibuat dengan ”harap-harap cemas” berakhir menggembirakan. Sang penabur tidak
menjatuhkan benih di tempat yang salah.
Jumlah seminaris dan lulusan tiap angkatan
bertambah. Rencana memindahkan Seminari Tinggi adalah tema yang mulai
dipikirkan secara serius pada tahun 1935. Adalah Pater J. Bouma, Pater H.
Hermens dan P. A. Visser, tiga SVD, sang empunya mimpi. Menurut mereka, Seminari Tinggi dan Novisiat mesti
dibangun terpisah dari Seminari Menengah. Tiga serangkai asal Eropa itu
memegang kendali untuk mewujudkan impian.
Lembah Hokeng di Flores Timur menjadi pilihan
pertama. Keinginan sudah bulat, tinggal menunggu waktu. Selidik punya selidik,
Hokeng adalah sarang nyamuk Anopheles,
pembawa malaria, penyakit yang sangat ditakuti kala itu. Dari segi kesehatan,
untuk memilih Hokeng orang mesti berpikir dua kali. Tetapi mencari lokasi lain
bukan usaha yang gampang. Ledalero sama sekali tidak masuk daftar.
Don Thomas Xiemenes da Silva, raja Sikka waktu
itu, adalah satu nama lagi yang patut disebutkan di sini. Mendekatinya tidak
terlalu sulit. Beliau dikenal sebagai seorang Katolik yang sangat menghargai
karya misi. Permintaan untuk mendirikan Seminari Tinggi di wilayah kekuasaannya
disambut dengan tangan terbuka. Masa depan karya misi rupanya dikehendaki Tuhan
untuk dimulai di atas tanah ini. Kurang lebih satu dekade berlalu setelah
Seminari Menengah pertama di Flores yang didirikan di Sikka-Lela hijrah ke
Todabelu, Nian Tana Sikka kembali menerima tawaran yang sama. Pemerintah dan
rakyat merestui pembangunan Seminari ini.
Ledalero menjadi pilihan. Sebuah bukit dekat
paroki besar Nita dan kebetulan tidak jauh dari Maumere yang telah menjadi
ibukota kerajaan Sikka. Tempat ini angker sekali. Masyarakat tidak biasa lewat
sendirian di sana. Konon, bukit itu punya
penghuni seorang pria yang selalu mengganggu orang-orang yang lewat sendirian
menjelang malam ketika pulang kebun. Alkisah, seorang pemuda Nita bernama Lero meninggal dan mayatnya
digantungkan di atas pohon enau yang banyak tumbuh di sekitar bukit ini. Karena
mayat si Lero digantungkan di tempat yang tinggi (Leda, dalam bahasa
Sikka), maka lahirlah nama Ledalero atau “bukit tempat mayat si Lero
digantung”. Menurut penuturan
orang-orang sekitar, inilah asal-muasal nama Ledalero. Namun ada versi lain
yang lebih meluas, yakni sebagai bukit tempat sandar matahari (leda:
sandaran, lero: matahari). Pada bukit ini penduduk masih melihat matahari bertengger sebelum hijrah ke
balik malam. Makna ini memiliki muatan simbolis yang kuat.
Biar angker, rencana pembangunan seminari tidak
mungkin batal. Bulan Mei 1936 kerja keras itu pelan-pelan dimulai Bruder Victor
Buchner, SVD. Pipa-pipa air menjadi prioritas. Pertengahan Agustus tahun yang
sama tenaga kerja ditambah. Tujuhpuluhan karyawan didampingi Bruder Willibrordus
Donkers, SVD dan Br. Odulphus Brouwer, SVD mulai mengubah wajah bukit angker
Ledalero. Batu pertama diletakkan, pembangunan tahap pertama berangsur rampung.
Pembangunan-pembangunan berikut menyusul dan nama bukit ini “dibaptis” juga
dalam sejarah panjang perjalanannya. Sudah tujuh puluh tahun Ledalero sungguh menjadi bukit tempat
sandar sang matahari ilahi.
Ledalero di bulan Mei dan Juni 1937 mengalami
hari-hari penuh kenangan. Di
awal Mei, Ledalero mendapat kabar baik dari Vatikan. Tepatnya tanggal 5 bulan
itu di tahun1937, Takhta Suci menyetujui berdirinya Seminari Tinggi Ledalero,
sebuah pengakuan resmi dari pemimpin Gereja sejagat. Menyusuli persetujuan itu,
maka pada tanggal 20 Mei 1937 Generalat Serikat Sabda Allah di Roma memberikan
keputusannya untuk memindahkan Seminari Tinggi dari Todabelu ke Ledalero.
Awal Juni, Ledalero lagi-lagi mendapat kabar baik.
Tahta Suci mensahkan
pemindahan Novisiat SVD dari Todabelu ke Ledalero dengan satu surat pengesahan
tertanggal 1 Juni 1937. Sebulan setelah pengesahan tersebut, yakni pada tanggal
7 Juli 1937, magister novis P. J. Koemeester, SVD, Frater Fr. Lukas Lusi dan
Fr. Niko Meak hijrah dari Todabelu dan menjadi penghuni pertama Ledalero.
Mereka disambut hangat oleh umat, yang terungkap dalam kalimat: “He miu ata
novisen mole ata frater, mai baa deri ei Ledalero” yang berarti: Hai para
novis dan para frater, kamu sudah datang dan tinggal di Ledalero. Tiga hari kemudian, sembilan orang frater
dan P. C. Molenaar menyusul ke Ledalero. Inilah angkatan pertama yang menghuni
Seminari Agung Ledalero. Keberadaan sebagai rumah formasi sebuah tarekat
religius menjadi semakin jelas, ketika pada tanggal 15 Agustus 1937 tiga frater
mengikrarkan kaul untuk kedua kali, tiga mengucapkan kaul pertama dan enam
calon novis menerima jubah.
Pernah menjadi sarang serdadu Jepang
Ledalero di awal tahun
40-an adalah bukit yang terang-benderang di tengah malam. Listrik, waktu itu,
adalah lampu ajaib seperti dalam adegan sulap yang menjadi tontonan wah.
Listrik sering menjadi buah bibir di mana-mana. Setelah kembali dari Ledalero
mengunjungi wisata gratis itu, cerita tentang listrik berkembang bak dongeng
dengan bumbu macam-macam. Orang-orang kampung sering mampir untuk
melihat-lihat, benda macam apa listrik itu? Ledalero, di tahun-tahun itu adalah
tempat pameran barang-barang aneh!
“Waktu saya kelas empat SD, kami nekat jalan kaki dari Lela ke Ledalero
hanya untuk melihat piano dan listrik,” kisah Daniel Woda Palle. “Dan mau tidak
mau saya dan teman-teman harus jalan tengah malam karena tau saja, listrik
hanya menyala pada malam hari,” tambah mantan Bupati Sikka di era 80-an itu
mengenang Ledalero di masa kecilnya.
Lain lagi dengan
Bapak Kristo Blasin, alumnus Ledalero angkatan 81-87 yang kini sebagai Wakil
Ketua DPRD NTT. Beliau punya kisah sendiri tentang Ledalero, almamater yang
menamatkannya. Beliau mengaku, di jamannya Ledalero termasuk ‘sekolah elite’.
Listrik, salah satu yang punya nilai lebih. Dengan fasilitas yang memadai
frater-frater di Ledalero menjadi begitu mapan.
Sayang, akunya, hal inilah yang justru pernah membuatnya ‘sombong’.
“Sekarang saya belajar untuk jadi
rendah hati. Di sini saya berada di luar sebagai orang yang bisa belajar dari orang lain. Di luar saya bertemu dengan banyak teman
tamatan Undana yang juga sangat mempengaruhi pola pikir dan pandangan saya.
Saya kira dalam hal tertentu mereka lebih hebat, karena dengan realitas serba
kekurangan mereka dapat belajar maksimal. Hanya dengan lampu pelita atau lampu
minyak mereka dapat menyelesaikan studinya dengan sukses. Di Ledalero segala
fasilitas tersedia, kalau orang sukses di sana saya kira harus begitu, biasa.”
Listrik di Ledalero
masih menyisakan satu cerita lagi. Akhir Juni 1943 suasana perang kemerdekaan merambat sampai ke kota Maumere.
Saat itu tentara Jepang sedang bermarkas
di kota Maumere. Rumah ini diam-diam dilirik pihak Jepang dan menjadi target
jarahan nomor satu. Motor
listrik dan perlengkapan penerangan lainnya dirampas dai Nipon. Praktisnya,
Ledalero gelap gulita. Dalam keadaan serba minus itu, empat orang bruder
pribumi angkatan pertama menerima jubah biara dan mulai menjalani masa
novisiatnya di Ledalero.
Situasi perang turut membelokkan sejarah Seminari
Tinggi ini. Situasi mulai tidak aman di medio Agustus 1942. Desingan peluru dan bunyi mesin heli
para serdadu sering melintasi wilayah Sikka. Dengan berat hati frater-frater
skolastik mengungsi ke rumah yang lama, Todabelu. Setahun kemudian, Frater
Herman Embuiru dan kawan-kawannya yang mengikrarkan kaul pertamanya di Ledalero
pada 15 Agustus 1943 berangkat lagi ke Todabelu untuk mengikuti kuliah
filsafat. Di Todabelu juga P. A. Conterius ditahbiskan menjadi imam pada
tanggal 12 Desember 1943.
Situasi serba sulit dan perasaan tidak nyaman
menghantui penghuni Ledalero dari hari ke hari. Para misionaris dituduh
menyembunyikan alat pemancar radio. Kecurigaan bertambah, ketika para serdadu
Nipon itu melihat kamar-kamar besar yang dihuni oleh para misionaris Eropa,
sementara orang-orang pribumi yaitu para frater hanya menempati bilik-bilik kecil
di ruang tidur umum. Karena tuduhan ini, maka pada tanggal 18 Otober 1942 Pater J. Koemeester, Pater Mertens, Bruder
Vitalis dan Bruder Sebastianus meninggalkan Ledalero sebagai tahanan dan dibawa
ke Ende. Novis-novis
sendirian dan itulah pertama kalinya dalam sejarah Seminari Tinggi ini seorang
frater novis (Donatus Djagom) diangkat menjadi penjabat sementara rektor rumah
Ledalero sampai kedatangan kembali Pater J. Koemeester sebulan kemudian.
Puncak krisis yang menyakitkan terjadi di medio
November 1943. Rumah suci ini
dijadikan asrama para serdadu Jepang. Penghuni Ledalero gulung tikar dan
mengungsi ke Lela. Rumah Regio Susteran SSpS dekat gereja Paroki Lela menjadi
tempat pelarian waktu itu.
Di awal 1944 Sekutu mulai melancarkan serangannya
untuk mematahkan Jepang. Januari tahun itu perang berkecamuk di Maumere dan
wilayah Nian Tana Sikka bukan tempat yang nyaman untuk belajar. Dari Lela,
sejarah berlanjut lagi di Todabelu. Seminggu setelah frater Gregorius Monteiro
dan frater Stephanus Ozias Fernandez menerima jubah biaranya di Lela pada pesta
kenaikan Bunda Maria, seluruh anggota komunitas novisiat darurat itu berangkat
menuju Todabelu.
***
“Seminari Tinggi Ledalero telah melewati tiga momen yang menakjubkan.
Terlahir sebagai Seminari Belanda, bertumbuh sebagai tempat pembinaan calon
imam pribumi dan kini dikenal sebagai dapur misi di abad ini,” komentar Pater
John M. Prior, seorang anggota SVD yang kini berkarya di pusat penelitian
Candraditya Maumere.
Ketika dunia bergejolak dengan perang demi perang
untuk memperebutkan tanah jajahan, Seminari Tinggi Ledalero bertumbuh sebagai
sebuah komunitas yang mengusung internasionalitas. Satu kampanye melawan
penjajahan yang sudah dimulai dari dalam. Sementara Belanda melancarkan
serangan-serangannya dan berupaya dengan segala cara untuk bertahan dan
menguras habis-habisan kekayaan bumi Indonesia, para anggota komunitas hidup
rukun sebagai satu kesaksian yang mengherankan.
“Antara tahun 1937-1960-an Seminari Tinggi
Ledalero disebut sebagai Seminari Belanda. Hal ini ditandai oleh penggunaan
bahasa Belanda sebagai bahasa komunitas, para pembina dan pengajar adalah para
misionaris asal Belanda dan penggunaan bahasa Belanda dan Latin dalam
perkuliahan,” urai Pater Manford Prior.
Empat tahun setelah mendiami bukit Ledalero,
tanaman yang tumbuh mulai menghasilkan buah. Pada tanggal 28 Januari 1941,
dalam satu upacara yang meriah di gereja paroki Nita, dua buah sulung Ledalero
ditahbiskan menjadi imam, yakni P. Karel Bale, SVD asal Maumere- Flores dan P.
Gabriel Manek, SVD, alas Lahurus-Timor, yang kemudian menjadi uskup.
Baru setahun merayakan
kegembiraan atas panenan perdana itu, Jepang masuk ke Indonesia. Pada tanggal
15 Mei 1942 sebuah kabar buruk sampai juga ke Ledalero. “Besok semua orang
Eropa harus berangkat ke Ende.” Perintah yang singkat dan jelas pun diikuti. Tak boleh ada
tawar-menawar. Semua misionaris Eropa yang bekerja di Ledalero berangkat ke
Ende dan ditawan di kediaman Vikaris Apostolik Nusa Tenggara, di Ndona. Ledalero praktis
ketiadaan tenaga pendidik. Namun kemudian, atas negosiasi Pater Van der Heyden,
SVD dan perjuangan suster Eustochia Dentist, empat orang suster SSpS asal
Jerman dan lima orang pastor serta dua bruder berhasil dibebaskan dari tawanan
di Ndona, termasuk di antaranya adalah P. J. Koesmeester, Rektor Seminari
Tinggi Ledalero.
Setelah tersiar kabar tentang rencana pembuangan
ke luar Flores, keadaan di komunitas Ledalero makin runyam. Tanggal 15 Juli 1942, mimpi buruk itu
menjadi kenyataan. Tujuhpuluh orang imam, 14 bruder dan 29 suster dibuang ke
Pare-pare. Untuk dapat kembali, mereka mesti menanti tiga tahun yakni setelah
Perang Dunia II usai ketika Sekutu menaklukkan Jepang di awal Agustus 1945
ketika Hirosima dan Nagasaki ditunggangbalikkan.
Selama tiga tahun Gereja Flores berjalan pincang.
Jumlah umat yang semakin membengkak tidak diimbangi dengan tenaga pelayan yang
memadai, dari ujung Timur sampai ujung barat. Bahkan, Manggarai dengan 75 ribu
umat lebih mesti berjalan tanpa gembala. Keadaan ini memaksa Mgr. Leven untuk
cepat bertindak. Dua orang frater yang baru tiga tahun belajar teologi direstui
untuk ditahbiskan menjadi imam karena kebutuhan pastoral yang amat mendesak.
Frater J. Bala dan Frater R. Pedrico bersedia menerima tugasnya yang baru
sebagai gembala umat ketika ditahbiskan dalam sebuah upacara sederhana tanggal
15 Agustus 1942. Pater Jan Bala dibenum ke Manggarai dan Pater Rufinus Pedrico
di wilayah Maumere sampai Hokeng.
Keadaan rumah porak poranda ketika komunitas
Seminari Tinggi kembali ke Ledalero pada awal Desember 1945. Serdadu Jepang
benar-benar pergi sebagai penjajah. Memang, tentara bisa menjadi pahlawan untuk
negerinya ketika tewas oleh senapan musuh tetapi serdadu tentu tetaplah serdadu
yang akan pergi dengan perasaan bangga kalau menghancurkan sarang musuh. Ledalero
benar-benar telah digunakan oleh orang-orang yang salah. Kerja keras mesti
dimulai lagi. Di bawah
pimpinan Pater Koemeester yang tiba di Ledalero tanggal 5 Desember sore bersama
para frater lainnya, rumah mulai ditata lagi.
Banyak yang rusak. Banyak yang hilang. Banyak yang
copot entah ke mana. Motor listrik, barang berharga untuk kepentingan belajar
raib tak berbekas. Yang tersisa hanya kabel-kabel yang sudah dipotong
pendek-pendek dan suku cadang motor listrik yang berserakan di sepanjang
lorong. Hati bagai disayat sembilu. Memang, pembangunan tahap kedua ini tidak
bisa dikatakan mulai dari nol tetapi keadaannya amat memrihatinkan. Harta lain
yang sangat berharga berupa buku-buku yang disembunyikan di rumah-rumah
penduduk mulai dikumpulkan kembali. Dalam keadaan yang serba minus Ledalero
merayakan Natal tahun 1945, pesta kelahiran Yesus di kandang yang hina.
***
Sepuluh tahun
kedua setelah kemerdekaan, Ledalero menjadi mata dan kuping yang tersiksa.
Kuping yang merekam terlalu banyak tangisan pilu anak-anak bangsa yang diseret
paksa tengah malam untuk dihabisi di sekitar kawasan Koting. Mata yang
menyaksikan lagi adegan sadis perkelahian dua bersaudara, Kain dan Habel.
Saudara bunuh saudara. Politik di tahun 65 memang teramat kejam dan pemali
untuk dibicarakan lagi. Tetapi, mau bilang apa, sebab, mereka-mereka yang
terlibat langsung dalam adegan tengah malam itu, dengar-dengar, juga adalah
orang-orang Katolik yang sama-sama mendengar kotbah hari Minggu tentang cinta
kasih dan menghafal baik sepuluh perintah Allah. Mau bilang apa.
Pater Josef Boumans sendiri mengenang rentang waktu ini sebagai tahun-tahun
dengan banyak pembunuhan sadis. “Pada malam pukul 00.00, ada beberapa truk dari
Maumere naik ke jurusan Koting. Di atas oto pasti ada orang yang ditangkap dan
akan dibunuh kalau mereka yang di atas oto
belum mati,” tulis Pater Boumans dalam Otobiografinya.
Ledalero mencatat
sebuah kenangan dengan epilog yang menyakitkan. Jenderal Achmad Yani mengunjungi Seminari Tinggi
Ledalero pada tanggal 25 September 1965. Kunjungan ini merupakan sebuah
kebanggaan dan kehormatan bagi lembaga Seminari
Tinggi ini. Beliau sempat berjanji dan berharap agar kelak dapat kembali
ke Ledalero. Namun, apa
hendak dikata, manusia boleh merencanakan Tuhanlah yang menentukan. Janji
tinggal janji. Lima hari sesudah kunjungannya ke Ledalero yakni tanggal 30
September tahun 1965, ia meninggal. Ia adalah salah satu korban tragis di
lubang buaya – Jakarta.
Saat itu banyak warga sipil yang dibunuh. Ada
seorang Katolik terkemuka yang rajin ikut “pembersihan” itu menuntut rektor
Ledalero, P. Boumans, agar Ledalero menyiapkan kubur massal untuk para penjahat
kaum PKI. Namun sang rektor menjawab tegas, “Tidak mungkin, itu tanah suci yang
di berkati Gereja, jadi tak mungkin”.
***
Ledalero: semakin berwajah
Indonesia – semakin berani mendunia
”Ledalero sebagaimana lembaga
pendidikan lainnya, tidak mempersiapkan orang “untuk jadi” tetapi terutama
mempersiapkan orang “untuk belajar”, tandas bapak Patris da
Gomez dalam komentar singkatnya tentang Ledalero. Untuk belajar tentunya kita
butuh pengajar. Para
perintis menyadari bahwa seminari tinggi butuh guru pribumi sebagai pengajar
dan pembina di Ledalero. Untuk maksud ini, maka pada tahun 1948 P. Piet Muda
dan Pater Lamber Lame Uran, serta tiga frater, yakni: Donatus Djagom, Paulus
Sani Kleden dan Stephanus Kopong Keda dikirim ke Eropa guna melanjutkan
studinya. Di atas pundak ketiga pioner ini, diletakkan tanggung jawab besar
untuk masa depan pendidikan para calon imam di Nusa Tenggara. Pergulatan
panjang di bangku kuliah menuai hasil. Pada tahun 1955 P. Dr. Paulus Sani
Kleden menyelesaikan studinya di Gregoriana Roma. Ia tercatat sebagai dosen
pribumi pertama. Sejak saat itu, secara perlahan jumlah “guru” asal Nusa
Tenggara bertambah.
Oleh bertambahnya jumlah tenaga dosen
sejak kembalinya para konfrater muda yang belajar di luar negeri, maka pada
tahun 1966 bahasa Latin sebagai bahasa perkuliahan pelan-pelan diganti dengan
bahasa Indonesia. Tugas kepemimpinan di komunitas pun mulai dipercayakan untuk
para imam pribumi. P. Ozias Fernandez menjadi rektor pribumi pertama di
Ledalero.
Bertambahnya jumlah pengajar dan
pendamping pribumi memperkuat posisi pendidik di Ledalero. Konsentrasi SVD
terhadap Gereja lokal khususnya melalui pendidikan terus digalakkan. Dalam
sejarahnya, calon-calon SVD dan para calon imam projo pernah tinggal serumah.
Kapitel Jenderal SVD pada tahun 1947 mendesak pimpinan SVD Flores untuk
secepatnya membangun seminari tinggi bagi para calon imam praja. Setelah
melewati beberapa sidang dan perundingan, maka pada tanggal 8 September 1955
didirikan secara resmi Seminari Tinggi St. Petrus Ritapiret sebagai lembaga
pendidikan para calon imam praja Nusa Tenggara.
Selama tahun-tahun pertama, para
Frater Praja masih menempati satu bagian dari Ledalero. Hijrah dari Ledalero ke
Ritapiret terjadi pada tanggal 6 April 1959, di bawah pimpinan P. J. Boumans,
SVD, sang praeses pertama, didampingi sepuluh orang frater. Berdirinya seminari
bagi calon-calon imam diosesan menunjukkan kemajuan misi yang dibawa SVD untuk
memperhatikan masa depan Gereja lokal.
Umat membutuhkan imam. Ledalero,
sebagai sebuah lembaga pendidikan calon imam, berperan penting dalam menyiapkan
tenaga para imam SVD yang bekerja dalam pelayanan umat di Indonesia. Sampai
awal tahun 80-an, hampir semua imam SVD tamatan Ledalero berkarya keempat
provinsi SVD di Indonesia. Mereka merambah hutan Papua, menyusuri sungai-sungai
di Kalimantan, juga melayani umat di kota-kota besar. Dalam 70 tahun ini,
Ledalero telah mempersembahkan sepuluh Uskup SVD untuk Gereja lokal di
Nusantara: Mgr. Gabriel Manek, SVD,
Vikaris Larantuka dan Uskup Agung Ende (1951-1961,1961-1969) Mgr. Paulus Sani
Kleden, SVD, Uskup Denpasar (1961-1972, meninggal 18 November 1972), Mgr.
Gregorius Monteiro, Uskup Agung Kupang (1967-1997, meninggal 10 Oktober
1997), Mgr. Donatus Djagom, SVD, Uskup
Agung Ende (1969-1996). Mgr. Vitalis Djebarus, SVD, Uskup Ruteng (1973-1980)
kemudian menjadi Uskup Denpasar (1980 sampai meninggal 22 September 1998), Mgr.
Darius Nggawa, SVD, Uskup Larantuka (1974-2004), Mgr. Antonius Pain Ratu, SVD,
Uskup Atambua (1984-2007), Mgr. Eduardus Sangsun, SVD, Uskup Ruteng (1985),
Mgr. Kherubim G. Pareira, SVD, Uskup Weetebula (1986), Mgr. Hilarius Moa Nurak,
Uskup Pangkalpinang (1987).
Pendidikan calon imam yang
diselenggarakan di Ledalero tidak hanya membuat para pemuda Indonesia matang
dalam persoalan-persoalan internal Gereja Katolik. Sebagai orang terpelajar,
mereka juga menaruh minat dan kepedulian terhadap kondisi sosio-politis
bangsanya. Karena masih diizinkan saat itu, pada tanggal 3 Mei 1948 Pater
Adrianus Conterius, SVD yang baru menyelesaikan studi teologinya berangkat ke
Makasar sebagai anggota parlemen. Beliau terpilih sebagai wakil rakyat untuk
NTT. Setelah itu, masih ada sejumlah pastor lain yang melaksanakan peran ini.
Kepedulian terhadap masalah-masalah sosial-politik itu terus dipupuk hingga
ini.
Betapapun mendesak
dan besarnya kebutuhan akan tenaga imam di Indonesia, Seminari Tinggi Ledalero
adalah lembaga pendidikan calon imam SVD yang mempunyai perhatian dan
tanggungjawab untuk misi Gereja universal. Itu berarti, Ledalero harus
mengambil bagian dalam misi sejagad tarekat. Pada tahun 1982 dua orang frater
yang mengikrarkan kaul kekalnya, mendapat benumming
untuk bermisi di Papua New Guinea. Dengan ini sebuah tradisi baru diretas.
Ledalero menjadi sebuah seminari tinggi untuk dunia. Kepercayaan serikat bagi
para misionaris ini terbukti, ketika pada tahun 1987, tahun emas Ledalero, tiga
anggota SVD Indonesia lulusan Ledalero diminta untuk memulai misi baru tarekat
di Madagaskar. Hingga tahun 2006, tercatat 246 anggota SVD alumni
Ledalero yang bekerja di 33 negara. Mereka diutus oleh Gereja, tarekat dan
rumah induk Ledalero untuk mewartakan kebaikan Tuhan, di mana pun, kapan pun
dan apapun risikonya. Tahun ini, tepatnya pada tanggal 1 April 2007, seorang
alumnus rumah ini, Pater Frans Madhu, misionaris SVD asal Riung, mati ditembak
seorang kriminal di Philipina Utara.
“Ledalero
sudah lama menghasilkan manusia-manusia yang dapat diandalkan. Orang-orang yang
siap pakai. Satu hal yang juga perlu dicatat, Indonesia dan khususnya NTT tidak
hanya mengirim tenaga kerja (TKI dan TKW) saja ke luar negeri tetapi juga
orang-orang yang memanusiakan manusia di belahan bumi yang lain bahkan rela ditembak
mati,” ungkap Dion Putra. “Ini satu kebanggaan kita dan Ledalero selalu
memiliki orang-orang yang siap,” tandas Pemimpin Redaksi HU Pos Kupang
itu ketika ditemui di ruang kerjanya Minggu, (8/7/2007) lalu berkomentar
tentang Ledalero.
STFK
Ledalero: Kemitraan yang akur dengan pemerintah
Kebutuhan akan sebuah badan
persekolahan semakin mendesak. Di bulan Januari 1969, mimpi ini terwujud. Sebuah lembaga pendidikan bernama Sekolah
Tinggi Filsafat dan Teologi Katolik (STF/TK) mendapat pengakuan dari republik
Indonesia. Di tahun 1971 Ledalero untuk pertama kalinya mendapat pengakuan
hukum dari pemerintah sebagai sekolah tinggi 'terdaftar' yang berhak memberikan
gelar sarjana muda. Pengakuan hukum ini tertera dalam Surat Direktur Pendidikan
Tinggi, Direktorat Jendral Pendidikan tinggi Departemen P dan K No. 257/
DPT/B/1971, tanggal 14 Juni 1971. Ini berita yang menggembirakan.
Angin segar datang lagi.
Lima tahun sesudahnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menaikkan status
lembaga ini menjadi 'diakui' untuk program sarjana muda. Kemitraan dengan
pemerintah makin terasa. Pada tanggal 22 Januari 1981, Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan mengeluarkan lagi surat yang berisikan keputusan untuk menaikkan
status STFTK Ledalero menjadi 'disamakan' dengan universitas negeri untuk
memberikan gelar sarjana muda.
Seturut Program Pendidikan
Nasional yang menyatukan semua program kegelaran pada universitas-universitas
swasta dan lembaga-lembaga pendidikan tersier, pada tanggal 29 November 1984
STFTK Ledalero menjalankan program program sarjana penuh (S-1) dengan status
'diakui' dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Sejak saat itu lembaga ini
lebih dikenal dengan nama baru 'Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero (STFK
Ledalero); kata 'teologi' dihapus.
Melalui program filsafat
agama dengan subjek utama 'filsafat Katolik', STFK Ledalero menjalankan
pelayanan dalam bidang formasi dan pendidikan, baik untuk para seminaris maupun
para mahasiswa/i awam. Pada bulan April 1990, STFK Ledalero mendapat status
'terakreditasi” berperingkat B, berdasarkan surat keputusan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan nomor SK 019/ 2003, tanggal 20 Agustus 2003 dengan jurusan Ilmu
Filsafat dan Program Study (Ilmu
teologi) Filsafat Agama Khatolik. Untuk meningkatkan kualitas yang lebih baik
dalam pendidikan dan formasi, sejak tahun 2003 STFK Ledalero membuka program
magister dan diploma teologi kontekstual. Program ini didasarkan atas kebutuhan
akan tenaga Magister yang mempunyai kemampuan untuk berteologi dan pastoral
dalam pelayanan gereja sesuai konteks.
Siapa saja bisa berfilsafat
dan berteologi. STFKpun semakin terbuka untuk umum. Sekolah menerima tamatan
SMU dan mereka yang sudah menyelesaikan formasi religius di novisiat untuk
mengikuti program sarjana. Para frater
yang telah menyelesaikan masa TOP (Tahun Orientasi Pastoral) juga melanjutkan
studinya pada program magister dan diploma teologi kontekstual. Inilah alasan
mengapa formasi SVD di Indonesia memakan waktu yang lebih daripada formasi yang
dijalankan di beberapa negara lain, seperti Filipina dan India. P. Dr. Kondrad
Kebung Beoang, SVD yang kini menjabat
sebagai ketua sekolah berkomentar, “
Filsafat dan Teologi kita hendaknya bisa berguna bagi masyarakat. Untuk itu,
perlu ada refleksi dan juga aplikasi atasnya”.
Bukit cahaya-bukit suara: Penerbitan di Ledalero
Sejak
berdirinya di Steyl, Belanda, SVD sudah dikenal sebagai sebuah tarekat yang
akrab dengan kegiatan penerbitan. Arnolus Janssen sangat memperhatikan
kerasulan melalui media massa. Tradisi ini pun diteruskan, ketika para
misionaris SVD datang ke Nusa Tenggara. Percetatan Arnoldus dan Penerbit Nusa
Indah didirikan di Ende untuk melayani kebutuhan kegiatan penyebaran agama dan
pengetahuan umum. Di Ledalero pun kegiatan publikasi mendapat perhatian. Sudah
dalam bulan Mei 1937 diterbitkan seri Pastoralia sebagai media berbagi
pengalaman dan pemahaman mengenai metode misi dan problema pastoral antara
misionaris SVD di Nusa Tenggara. Mulanya penerbitan ini ditangani di Ende, kemudian
pindah ke tangan para dosen di Ledalero. Sejak beberapa tahun terakhir
Pastoralia tidak diterbitkan lagi.
Adalah Pater Vlooswijk, SVD, seorang
pembina yang menggagasi dan merintis penerbitkan sebuah majalah intern yang
waktu itu dikenal dengan BAK (Berita Antara Kita) yang terbit satu setengah halaman
kertas folio cetak di tahun 1953. BAK berisi berita-berita internal dari rumah
induk atau dari sama saudara yang bekerja di daerah misi. BAK mendapat sambutan
hangat. Di dalamnya berita-berita sederhana dikemas secara menarik.
Rupanya spirit BAK membawa inspirasi
baru bagi beberapa frater muda yang giat menerjemahkan beberapa artikel asing
dan dipersiapkan untuk dipublikasikan dalam bentuk stensilan. Maka pada tanggal
28 Nopember 1953 dibentuk sebuah majalah yang diberi nama VOX SANCTI PAULI.
Beberapa frater yang tercatat sebagai perintis lahirnya VOX yaitu Fr. Hendrik
Djawa, Fr. Alo Mitan, Fr. Darius Nggawa. Sejak awal VOX tampil sebagai wahana
latihan bagi para calon misionaris muda untuk menyusun dan menyampaikan
gagasan. Sebelum resmi turun ke tangan pembaca, biasanya artikel-artikel
direncanakan itu didiskusikan bersama di kamar makan. Tim “editor kamar makan”
itu harus sampai pada kata sepakat. Memutuskan mana tulisan yang layak mana
yang tidak sesuai bobot ilmiahnya. Majalah ini mulai punya identitas sendiri.
Karena bobot ilmiahnya menjadi bahan pertimbangan utama, nuansa
tulisan-tulisannya sudah jauh berbeda dengan BAK. Anggota komunitas menyambut
kehadiran stensilan ilmiah ini dengan gembira. Permintaan meningkat.
Sejak periode 1954 sampai dengan 1969
VOX terbit tanpa izinan dari instansi pemerintahan. Pada tahun 1981 VOX
mendapat Internasional Standard Serial Number (ISSN) 0216 – 8804 dari pusat
dokumentasi ilmiah Nasional. VOX pernah dilarang terbit. Surat Keputusan Menpen
RI No. 1097/SK/DITJEN PPG/K/X/84 tertanggal 16 Oktober 1984 berisi larangan
terbit bagi penerbitan berkala tanpa izin Mentri Penerangan RI. Baru pada
tanggal 12 Februari 1986 VOX mendapat lagi izin terbit sebagai penerbitan
khusus.
Dengan kehadiran majalah VOX kemampuan
intelektual para calon imam Serikat Sabda Allah yang tinggal di Ledalero
semakin meningkat, khususnya dalam
bidang tulis menulis. Bukankah menulis juga menjadi bagian dari proses
pembentukan diri?. ”Agaknya menjadi suatu kekurangan apabila, mahasiswa filsafat
filsafat dan Teologi tidak menulis” komentar Anton Bele. Hingga kini VOX telah
menerbitkan lebih dari 150-an edisi dengan cakupan pembaca seluruh Nusa
Tenggara dan daerah-daerah lain di Indonesia. Belakangan, VOX tidak hanya
menyediakan ruang bagi penulis-penulis internal dari kalangan pembina dan
frater tetapi juga ada penulis-penulis luar.
Nuansa ilmiah yang selalu mewarnai isi
majalah VOX mengundang perhatian beberapa anggota rumah untuk memikirkan satu
bentuk buletin lagi yang lebih ringan isinya. Tanggal 1 Februari 1971 dalam
sebuah pertemuan antara para prefek dan kru VOX waktu itu tercetuslah ide untuk
menerbitkan Wisma (Warta Intra Seminari). Wisma tampil dengan nuansa penuh
kekeluargaan.
Pengalaman-pengalaman pastoral yang mengesankan, cerita-cerita ringan
seputar pengalaman praktek para frater diceritakan lugas dengan bumbu-bumbu
yang menyegarkan. nuansa ini tetap dipertahankan hingga kini. Kini Wisma terbit
dua kali setahun sebagai berita intern komunitas dan juga menjadi oleh-oleh
liburan untuk para orang tua. Kronik-kronik ringan yang disajikan Wisma menjadi
sentilan-sentilan menarik yang selalu membawa inspirasi baru.
Meningkatnya jumlah misionaris yang dikirim ke luar negeri memberi
dorongan untuk memperluas gagasan-gagasan dan pengenalan akan
pengalaman-pengalaman misi di berbagai belahan bumi. Maka, sejak tahun 1992
atas prakarsa Provinsi SDV Ende, P.Georg Kirchberger ditugaskan untuk
menerbitkan seri Verbum Indonesia. Mula-mula seri ini berisi terjemahkan
artikel pilihan dari seri Verbum yang diterbitkan oleh
Missionswissenschaftliches Institut Sankt Augustin, Jerman. Belakangan, Verbum
juga memuat artikel-artikel bertema misi yang diterjemahkan dari berbagai
jurnal lain.
Penerbitan lain dilakukan di bawah koordinasi Pusat Penelitian Agama
dan Budaya Candraditya, yang didirikan pada tahun 1987 di bawah pimpinan P.
John Prior, SVD dan Hubert Muda, SVD. Hasil penelitian lembaga ini diterbitkan
dalam seri khusus yang berjudul Seri Etnologi dan Pustaka Misionalia. Dalam
Seri Etnologi sudah diterbitkan beberapa karya etnografis Paul Arndt, SVD.
Kegiatan publikasi sebagai satu bidang yang penting dalam rangka
pewartaan dan elemen yang utuh bagi pergumulan ilmiah, kemudian menguatkan
tekad untuk memulai sebuah Penerbit sendiri. Pada tahun 1999 P. Georg
Kirchberger mulai menerbitkan sejumlah buku di bawah penerbit LPBAJ (Lembaga
Pembentukan Berlanjut Arnoldus Janssen). Karya-karya yang dipandang penting
bagi kegiatan pastoral dan refleksi teologis diterjemahkan dan diterbitkan.
Kehadiran sebuah Biro Penerjemahan Provinsi SVD Ende di Ledalero (Nitapleat)
sangat mendukung usaha ini. Selanjutnya, ketika STFK Ledalero merencanakan
untuk menerbitkan sebuah Jurnal ilmiah, kebutuhan akan sebuah Penerbit yang
berbadan hukum dirasakan semakin mendesak. Setelah melewati beberapa pertemuan,
maka pada tanggal 8 Juni 2002 Jurnal Ledalero diluncurkan dan Penerbit Ledalero
diresmikan. Keberanian mendirikan sebuah penerbit dilandasi oleh kehendak untuk
memanfaatkan potensi akademik para dosen dan juga mahasiswa. Penerbit Ledalero
secara yuridis bernaung di bawah Yayasan Persekolahan Santo Paulus Ende. Dalam
usianya yang kelima, Penerbit Ledalero sudah berjuang untuk turut menyumbangkan
bacaan-bacaan yang berbobot, khususnya dalam bidang filsafat, teologi, antropologi dan sosiologi, yang mendapat apresiasi luas di kalangan
pembaca di Indonesia.
Rekaman Pancawindu
Dihitung mundur dari 1977 ke tahun berdirinya Seminari Tinggi ini maka
genaplah usia 40 tahun. Reuni III yang dihadiri 127 alumni dari Ledalero dan
Ritapiret itu berlangsung dari tanggal 8-16 September. Reuni yang bertajuk
“Pekan Studi” itu menjadi kesempatan evaluasi dan catatan-catatan praktis untuk
mempersiapkan diri menghadapi kesulitan-kesulitan berpastoral di lapangan.
Majalah intern Seminari mencatat puncak perayaan pancawindu sebagai
sebuah kenangan yang mengesankan. “Kesibukan menjelang acara puncak sudah
terlihat sejak awal September. Medio September kesibukan makin menanjak.
Panggung besar yang terletak di bagian Timur mendapat perhatian besar. Tidak
kurang dari 900 kursi memenuhi ruang acara. Orang-orang di dapur komunitas pun
sibuk amat,” demikian Wisma no.3 thn VII-1977.
Tema perayaan puncak “Di naung langit esa kumpul kita secita” menyiratkan
satu pesan solidaritas untuk senantiasa bekerja sama dalam menjalankan tugas.
Dalam sambutannya, Sekwilda Sikka, Drs. Dan W. Palle menyatakan penghargaan
pemerintah atas sumbangan Seminari ini bagi masyarakat dan negara. “Kalau
pemerintah membangun jembatan dan gedung, maka Ledalero membangun manusia,”
ujarnya.
“Acara puncak telah lewat bagai mimpi,” catat Wisma lagi. Namun, kenangan
dan usia setua ini mesti menyediakan alasan-alasan yang cukup untuk berbangga.
Imam yang telah ditahbiskan dalam usia 40 tahun ini berjumlah 222 orang dari
total 828 mahasiswa yang pernah mengenyam pendidikan di Ledalero. Ratio perbandingan yang terpaut
jauh antara imam yang dihasilkan dan awam. Seminari sebagai lembaga pembentukan
calon imam sebenarnya mempunyai tujuan laten untuk menghasilkan calon awam
katolik yang tangguh. Alasannya sederhana, dari jumlah tiap angkatan yang masuk
terbanyak kemudian menjadi awam. Dengan ini, kita bisa punya satu alasan lagi
untuk berbangga.
Saat Perayaan Emas
Rekaman kesibukan menjelang pancawindu kini terulang lagi di saat-saat
persiapan menjelang usia emasnya. “Puji dan Syukur” adalah luapan hati yang
tidak bisa ditutup-tutupi. Tentu bukan saja karena 268 imam SVD yang berhasil
ditamatkan dari almamater ini, tetapi ada juga 170 imam diosesan, 1 MSC, 1 CSSR
dan banyak awam yang turut menentukan masa depan bangsa dan gereja.
Di usia emasnya, Ledalero sudah
mencatat banyak hal yang membanggakan. Prestasi tiap angkatan yang memadai,
jumlah pembina yang diupayakan mengimbangi jumlah frater, kerjasama yang baik
dengan pemerintah pusat maupun daerah dan masih banyak kemajuan lain. Tat kala
menoleh pada sejarah silam, tepat kalau kutipan peribahasa Belanda “God schrift rech op krome lijnen” digemakan kembali. “Allah berkarya
di atas garis yang bengkok”, kutip pater Paulus tera, SVD (provinsial kala itu).
Tepat, Tuhan selalu menghendaki yang terbaik.
Di samping semua kemajuan
membanggakan itu, kita perlu menyebutkan orang-orang belakang layar yang
diam-diam mendukung Ledalero dengan caranya sendiri. Suster-suster CIJ yang
selama 16 tahun bekerja di dapur komunitas, karyawan dan karyawati yang
bertugas di bilik jahit, bilik basuh, bengkel, perkebunan Ledalero dan Pati Ahu
yang setia memenuhi keperluan dapur Ledalero sampai sekarang. Di sekolah,
Ledalero didukung oleh tenaga-tenaga yang bekerja di Museum, Perpustakaan dan
Sekretariat.
Semua ini patut membesarkan hati. Usia lima puluh tahun bukanlah rentang
sejarah yang mudah. Pahit manisnya hidup telah dirasakan Seminari ini. Tidak
lain, puji dan syukur menjadi kata-kata yang tepat untuk menggambarkan luapan
kegembiraan orang-orang yang merasa memiliki rumah ini. P. Nikolaus Hayon, SVD,
Rektor Ledalero kala itu, merangkai harapan emas, bukan terutama bagi lembaga
ini, tetapi bagi seluruh umat dan masyarakat. Sebab, dia yakin bahwa Ledalero
harus berakar di dalam dan berbuah demi masyarakat dan umat. “Semoga demi Tuhan
dan dalam Pancasila, kebenaran dan keadilan tetap menjadi norma dalam hidup
masyarakat”. Sayang, Pater Niko tidak sempat lagi turut merayakan pesta 70
tahun lembaga yang sangat dicintainya ini. Beliau meninggal pada tanggal 27
April di Jakarta dan dimakamkan di pekuburan Ledalero.
Ketika Paus
datang
Dua tahun sesudah merayakan
emasnya, Ledalero berkenan menerima kedatangan Bapa Suci. Kedatangan Sri Paus
di Maumere dan terutama di Ledalero patut dikenang sebagai sebuah rahmat
sepanjang sejarah berdirinya Ledalero. Dua alasan yang patut direfleksikan.
Pertama, sebagai satu komunitas orang-orang beriman katolik, kehadiran Sri Paus
menampakkan kehadiran Allah di tengah umat-Nya. Kesatuan dengan Gereja
universal menjadi nyata dan diteguhkan. Kedua, kunjungan Sri Paus di Ledalero
merupakan “suara panggilan Allah” yang sangat dekat di telinga para “imam masa
depan” saat itu. Bahwa Allah hadir dalam diri Sri Paus untuk berdialog dengan
orang-orang yang telah Ia panggil.
“Rahmat dan damai dari Allah Bapa
dan Tuhan Yesus Kristus beserta anda” “Rm 1 : 7)”. Itu adalah kata-kata pertama
yang mengalir dari mulut Sri Paus. Selanjutnya Sri Paus menegaskan bahwa “para
imam masa depan” di Ledalero merupakan sebuah pujian khusus bagi umat katolik
Indonesia yang selama berabad-abad menghayati imannya dengan berkanjang
dan bersemangat. Paus Yohanes Paulus II saat itu melihat kehadirannya sendiri di
Ledalero pada 11 Oktober 1989 sebagai sebuah kesempatan berahmat. Peristiwa ini
patut dikenang sebagai sebuah rahmat sepanjang sejarah Ledalero. Bahwa Tuhan
telah datang kepada umat-Nya dan kepada orang-orang yang Ia panggil dengan kabar gembira mengenai kedatangan Sri
Paus.
Gempa 1992: Ambil hikmahnya
Kuliah disiang itu agak melelahkan tetapi menarik. Beberapa orang frater
masih juga berdebat tentang bahan filsafat yang baru saja mereka peroleh.
Sebagiannya sudah mulai merapatkan kepala pada bantal, dan sesegera mungkin
terlelap. Detak jarum pada dinding, ternyata menyampaikan pesan, tetapi tak
seorangpun yang coba memahaminya. Tak ada rasa curiga sedikitpun pada jarum
panjang yang hendak merapat pada angka enam. Tepat pukul 13.30 Wita, tanah bergemuruh dan menggoncangkan bumi Flores.
Goncangan hebat membuat orang-orang berhamburan keluar rumah.
“Gempa…gempa…Tuhan tolong…,” teriak suara warga diiringi tangisan pilu.
“Seluruh kompleks perkuliahan rubuh dalam sekejap mata. Kompleks hunian
para imam, bruder dan frater porak poranda. Gedung Gerejapun tidak luput dari
goncangan. Salib bubungan patah, tembok-temboknya retak. Di saat yang berbahaya
itu setiap orang berusaha untuk membebaskan diri dari bahaya ancaman maut. Ada
orang yang bertahan dalam bilik sambil berlindung di kolong meja atau di balik
lemari, ada yang melompat keluar lewat jendela, tetapi ada pula yang
menyelamatkan diri dengan terjun bebas dari gedung bertingkat. Pius Usboko,
seorang frater yang berusaha membangunkan teman-teman di kamar tidur
masing-masing menjadi korban karena ditindih tembok di kelas filosofen,” tulis
almarhum P. Niko Hayon mengenang peristiwa getir itu.
Rumah-rumah warga runtuh seperti dedaunan kering. Pertokoan bertembok di
sepanjang kota Maumere rata tanah. Di hadapan gempa keangkuhan
bangunan-bangunan megah merendah seperti pondok ilalang di tengah kebun yang
hancur dengan satu hentakan. Reruntuhan ini menciutkan nyali sambil
memperingatkan kita tentang satu pesan: manusia tak kuasa menaklukkan alam
Gempa dan tsunami Flores, bencana nasional yang memilukan. Patahan
Austronesia turut menyeret banyak penghuni bumi di bibir pantai sepanjang
Flores. Gelombang pasang yang “terjaga”
dari tidurnya, telah merenggut ribuan nyawa manusia. Tak terhitung yang
menderita cedera berat dan ringan di seluruh daratan Flores.
Ledalero rusak parah. Kerugian akibat gempa seperti yang dicatat oleh P.
Fritz Braun (arsitek amatir bangunan di Ledalero) diperkirakan mencapai 8
miliar rupiah. Gempa ini tidak hanya
menghancurkan bangunan tetapi juga mengguncang kemapanan para penghuni
Ledalero. Rasa aman telah dirasakan selama kurang lebih 55 tahun secara
tiba-tiba ‘dirampas’ oleh guncangan gempa berkekuatan 6,8 Skala Richter itu.
Kegiatan belajar-mengajar di sekolah-sekolah termasuk STFK Ledalero
berhenti sesaat. Para frater diliburkan sebulan dan barak-barak darurat segera
dibangun di sekitar bukit Ledalero dan sekitarnya. Kegiatan perkuliahan beralih
tempat ke Ritapiret dan berlangsung dalam barak-barak darurat hampir 9 tahun.
Pola hidup mapan sering membuat orang terlena dan lalai untuk berefleksi
tentang realitas dan pengalaman hidup sebagai insan beriman. Kehidupan dalam
komunitas biara dengan jadwal meditasi yang teratur tentu memudahkan para
anggota komunitas untuk merenungkan hakikat Allah yang Maha kuasa dan Maha
cinta.
“ Bagi kami bencana ini merupakan ujian dari Allah” demikian tutur
beberapa orang muslimin dan muslimat di perkampungan Nangahale dan Wuring. “Ini
sejalan dengan amanat Qur’an 2, 155-156”
kutip P.Philipus Tule, SVD dalam kunjungannya itu. Pengalaman gempa dan
gelombang tsunami menyentak sanubari setiap orang untuk merenung dan menemukan
kehendak Allah dalam kehidupan dan penderitaan akibat bencana ini. Bagi
penghuni komunitas Seminari Tinggi Ledalero, kehendak Allah terungkap dalam
sistem baru dalam pembinaan para calon imam.
Ledalero
Pascagempa: ukir tapakmu
Di bawah kepemimpinan P. Hubert Muda, SVD, Rektor saat itu, usaha
pembangunan kembali mulai dirancang. Rancangan itu kemudian dilanjutkan oleh P.
Laurens da Costa, SVD sebagai Rektor Ledalero periode 1993-1996. Setelah
melalui diskusi yang panjang dan melelahkan mengenai perubahan pola pembinaan
para calon imam, maka ditetapkan bahwa sistem unit-unit kecil menjadi
alternatif yang dipakai untuk tempat pembinaan para seminaris. Seminari Tinggi
Ledalero yang mengalami kerusakan sangat parah, sebagian besar tak akan
dibangun dalam bentuk yang sama. Oleh sebab itu tempat hunian para frater
dibangun dalam bentuk unit-unit kecil.
Dampak langsung dari bencana gempa adalah pergeseran sistem dan pola
formasi di Seminari Tinggi Ledalero dari pola sentralistik dan massal ke sistem
unit-unit kecil di mana partisipasi pribadi formandi serta pengenalan pribadi
terjadi secara lebih intensif, baik antara formator dengan formandi maupun
antara para fomandi sendiri. Dengan sistem unit pola pengenalan para frater
juga lebih luas menjangkau para konfrater dari tingkat lain. Dengan sistem unit
campur ini, diharapkan nilai kekerabatan dan keluarga besar dari berbagai
elemen budaya lokal seakan diakomodasi dalam aktivitas pembentukan.
Setelah memikirkan sistem, giliran kedua adalah membangun gedung. Berbeda
dari pembangunan awal yang ditangani seorang Bruder, pembangunan pascagempa
dipercayakan kepada komando seorang pastor, Pater Tadeusz Gruca, SVD. Sudah
menjadi pilihan para penghuni Ledalero dan pimpinan SVD, bahwa pembangunan
rumah kita sendiri baru dimulai setelah pembangunan rumah-rumah penduduk dan
sarana-sarana umum yang dibutuhkan masyarakat sudah mulai rampung. Bantuan dari
Ledalero, sangat berarti. Bruder Otmar yang menangani korban bencana di Nangahale,
memuji inisiatif komunitas Ledalero. “ Ledalero bagus waktu itu, tidak kikir
keluarkan uang” ungkapnya.
Gedung-gedung kuliah di kampus Ledalero mulai dibangun di atas
puing-puing reruntuhan. Gedung ini rampung dan mulai dipakai pada awal tahun
kuliah 2001/2002. ”Generasi barak” mulai diganti dengan generasi gedung megah
berlantai dua. ”Rahasia” masing-masing tingkat dan ruang kuliah kembali lagi
terjamin, ya, karena di barak hampir tak ada rahasia. Lucu di satu ruangan
mengundang tertawa di ruang-ruang lain, kemarahan di ruangan yang satu membuat
mahasiwa/i di ruangan lain turut gementar. Ada arus balik, kalau dulu para
Frater dari unit-unit di Ledalero harus berjalan ke kompleks barak di
Ritapiret, maka sejak September 2001 para Frater dari Unit Rafael Nita dan
Arnoldus harus menunggu Ata Kiwan
(nama bis) atau bis kayu Ledalero untuk mengantar dan mengembalikan mereka dari
kampus STFK.
Bersamaan dengan unit-unit tinggal yang semakin menyebar, iklim
keterbukaan pun tampaknya semakin menjiwai Ledalero. Entah di bawah koordinasi
STFK Ledalero atau pun sebagai konvik mandiri, Ledalero melibatkan diri dalam
berbagai persoalan kemasyarakatan, turut
menyuarakan berbagai kepincangan dan ketidakadilan yang terjadi di dalam
masyarakat. Keterlibatan sejumlah konfrater dalam pendampingan terhadap LSM-LSM
dan kelompok-kelompok pemberdayaan masyarakat, dalam TRUK-F atau dalam JPIC
Provinsi SVD Ende, pendampingan kelompok Gerobak, turut mewarnai suasana
keterbukaan dan kepedulian sosial ini. Berkat keahlian dan hubungan pribadi
beberapa sama saudara, Ledalero pun kian terlibat dalam dialog-dialog
antaragama. Suara yang disampaikan dari bukit terdengar semakin menyentuh
kebutuhan masyarakat.
Salah satu kunjungan yang singkat namun sangat bermakna pada tahun perayaan
ini adalah kunjungan Prof. Dr. Meutia Hatta, menteri pemberdayaan perempuan RI,
pada tanggal 5 April 2007. Beliau mengunjungi Ledalero dalam perjalanannya ke
Larantuka pada hari-hari menjelang Paskah 2007. Kunjungan ini bermakna, karena
dengan ini menjadi nyata apresiasi pemerintah terhadap keterlibatan lembaga ini
dalam upaya pemberdayaan kaum perempuan, serentak menyatakan harapan yang besar
akan pentingnya kontribusi Ledalero bagi peningkatan penghargaan terhadap kaum
perempuan.
Dekade pertama sejarah Ledalero pasca gempa sudah lewat. Pola formasi
dengan sistem unit ternyata tidak bebas persoalan. Situasi baru punya
persoalannya sendiri yang perlu ditangani. Ledalero kini mempunyai 8 unit
frater dengan anggota tiap unit 30-an orang frater (dan bruder) ditambah dua
orang pendamping untuk setiap unitnya. Walaupun terbagi dalam unit-unit kecil
kegiatan komunitas selalu diupayakan untuk menjadi nomor satu. Perjalanan ke
depan masih butuh banyak evaluasi dan refleksi. Setelah sekian tahun berjalan,
situasi keakraban sebelum gempa dengan komunitas yang terpusat menjadi
nostalgia yang sulit dilupakan. Kadang-kadang orang berpikir untuk kembali ke
masa lalu. Mestinya tidak.
Pada usianya yang ke-70 ini, ada 334 Frater yang menghuni bukit ini,
bersama 39 orang sama saudara yang berperan sebagai formator. Dari antaranya,
sebanyak 13 berperan sebagai formator langsung, yang menangani pendampingan
Frater di unit-unit. Dengan angkatan terakhir tahbisan tahun ini, Ledalero secara keseluruhan telah menghasilkan 772
imam SVD. Secara rata-rata, per tahunnya Ledalero mempersembahkan hampir 11
orang imam untuk melaksanakan misi Gereja dan karya pelayanan SVD. Jumlah ini
masih harus ditambah beberapa orang Bruder SVD yang pernah mengenyam pendidikan
di Ledalero, dan tentu saja ribuan awam yang kini berkarya di pelbagai tempat.
Pa’ Rufin Kedang, seorang alumnus (awam) yang sekarang bekerja sebagai dosen di
Melbourne (Australia) berkomentar” semangat misi yang ditanamkan SVD tetap kami
hidupi. Kami selalu terdorong untuk berkarya di tengah sesama sebagai abdi
Allah. Dan kami bermisi dengan cara kami sendiri,” tuturnya. Benih yang telah
ditaburkan, hendaknya terus bertumbuh. Ibu serikat telah melahirkan dan
membiarkanmu pergi ke tanah lepas. Suatu saat, kembalilah, dan kabarkanlah
tentang makna tapak-tapakmu.
Sejarah adalah pilihan antara mengingat dan melupakan. Kalau tak ada yang
dikenang kita ketinggalan modal untuk hidup, kalau tak ada yang dilupakan, kita
terlalu terbeban untuk maju. Sejarah, dalam hal ini peristiwa-peristiwa berahmat yang telah
diterima komunitas Ledalero dalam perjalanannya mengitari matahari bersama bumi
menjadi material yang berharga. Dari material itulah bekal kehidupan komunitas
Ledalero di masa-masa mendatang dapat
diolah menjadi sumber yang menghidupkan. (bill
halan/ve nahak/kmkl)
Comments
Post a Comment