KADO TERAKHIR
(Cerpen Atel
Lewokeda)
Kejamnya
mentari yang membakar kota
karang tak menyusutkan langkah Ria untuk segera kembali ke penginapannya usai
mengikuti perkuliahan. Jalur penyebrangan dan lorong yang biasa dilewatinya
menjadi semakin tak bersahabat karena sepi. Ia baru merasa legah saat pagar
rumahnya sudah ada di depan matanya. Langkah keletihan dan kejenuhan Ria hilang
dalam sekejap ketika mendapatkan amplop bunga dalam box surat yang ada di halaman depan. Rasa lapar
yang menderanya sepanjang perjalanan hanya menjadi lelucon baginya. Pergulatan
dirinya dengan segala konsep ilmiah yang baru saja diterimanya sirna dalam
sesaat. Kepenatan rationya kabur tanpa pamit saat ia menggengam amplop itu
menuju kamarnya..
Ke
pangkuan yang kusayangi….Ria
Ketika
engkau membaca tulisan ini, aku tidak tahu kalau aku sudah ada di mana. Kuharap
engkau sabar dan sanggup membaca curahan hati ini sampai selesai. Entah tulisan
ini yang ke berapa namun satu yang pasti bahwa ini adalah tulisan yang terakhir
dari tangan yang pernah mencintai dirimu dengan sepenuh hati. Ria … tersenyumlah
usai membaca luapan rasa ini dan bukannya meneteskan butiran bening dari bola
matamu yang indah. Jangan tangisi kepergianku ini. Karena air matamu terlalu
mahal untuk harga atas nama diriku. Doakan aku semoga mukjizat Tuhan mempertemukan
kita kembali, untuk saling menatap lagi dari sisi yang hampir tak berjarak.
Aku tahu antara kita pernah ada rasa
untuk memiliki selamanya. Rasa yang lahir dari dua insan yang telah larut dalam
sebuah dunia atas nama cinta. Begitu dalamnya
rasa itu hingga tidak bisa dilukiskan oleh kwas Michael Angelo atau oleh
pena seorang Khalil Gibran sekalipun. Meski dipisahkan oleh jarak dan
cita-cita, kita tidak pernah merasa sepi; karena kata selalu menjadi penghibur
dan kesetian menjadi sayap yang menerbangkan kita untuk bertemu. Terakhir kali
kudengar suaramu, engkau begitu semangat menceritakan situasi dan kegiatan
kuliahmu di ibu kota
provinsi. Semangat yang berkobar-kobar itu membatalkan niatku untuk jujur
mengatakan rasa dan keadaanku. Saya berusaha tertawa. Tersenyum pun saya
lakukan walau dirimu tak sempat melihat senyumku untuk yang terakhir kalinya.
Senyum yang selalu menjadi kebanggaanmu kala kita bertemu. Senyum yang selalu
kau dambakan ketika kita saling beradu pandang.
Ria.…mengiringi kepergianku, kuharap
kau temani aku dengan cinta dan doa. Kalau sampai waktuku, aku akan pergi dan
tidak akan ada lagi seperti yang sekarang ini. Engkau pernah menulis untuk
diriku bahwa sesungguhnya dirimu tak bisa bersaing dengan Tuhan untuk merebut
cinta ini. Kita, aku dan dirimu seutuhnya tidak pernah sanggup mengelak dari
rencana dan cinta Tuhan. Jangan katakan Tuhan kejam, atau tidak adil. Jangan
tulisakan bahwa aku berkhianat. Karena sebenarnya jiwaku sedang menangis ketika
harus berpaling dan pergi meninggalkan guratan wajahmu dalam tanda tanya. Aku
sendiri berada dalam sebuah persimpangan antara mencintai dan menjawabi sapaan
sang Pemilik Cinta. Maafkan diriku karena untuk yang satu ini, aku tak pernah
berkata jujur padamu. Aku tak rela membiarkan dirimu tersiksa dengan
kujujuranku. Yakinlah aku akan selalu mendoakan engkau dari seberang harapan
dan cinta.
Pada batas kehidupanku dengan cara
ini, aku akhirnya menemukan diriku sungguh tak berdaya bila berhadapan dengan
dirimu. Engkau sungguh sempurna bagi manusia seperti diriku. Dalam sepinya
malam, keresahan menyiksa jiwaku sambil menghempaskan sisa asa dalam nuraniku
yang sebentar lagi akan menyeberangi samudra yang gelap. Ketika untuk pertama
kali desahan angin senja menghantarmu berdiri pada tepian wajah jiwaku, engkau
bertanya anggun dalam goresan bibir mungilmu tentang diriku dan bagaimana
perjalanan rasa seorang pangeran cinta. Demi sepotong jiwa yang ada di
hadapanku, spontan aku bersorak; jiwaku telah menemukan sisinya yang retak
dalam wajah seorang bidadari. Saat laut untuk pertama mempertemukan kita dengan
pantainya dalam tenunan sejuta gelombang yang saling bertaut, berpagut lalu
dengan bebas mengungkapkan kata-kata di hari itu. Tapi sebenarnya bukan kata,
melainkan getaran hati untuk mengatakan aku cinta dan sayang sama kamu. Jujur
kuungkapkan; hadirnya dirimu dalam pentas kehidupanku menghapus waktu yang
senantiasa mengajakku memojok pada sudut kesendirian, lebih romatisnya
kesunyian. Kemisterian nuraniku yang bergejolak tanpa nama akhirnya menemukan
cahaya, yang tak hanya memberi harapan tapi serentak memahkotainya dengan tiara
putih yang tak dapat diberi harga berapa pun. Berjalan bersamamu, lebih
layaknya mendampingi dirimu pada pijak atas nama cinta mendepak aku dari
semboyan cinta yang artinya memiliki. Pada sisa waktu ini, jiwaku
mendeklamasikan bahwa sesungguhnya tanganku terlalu kecil berhadapan dengan
kekuatan-Nya. Jiwaku menyandarkan aku pada sebuah petuah, “langkah terbaik
menjalani sisa hidupku adalah menghormati waktu dalam setiap pergerakannya,
tanpa banyak berharap” dan menyadarkan aku bahwa panggilan Tuhan adalah
segalanya bagi ketercerahan hidup. Sebelum berjalan lalu, jiwaku mengukir pada
dinding namamu sebagai tanda jiwaku adalah milik cintamu yang tak pernah
dipisahkan oleh insan manapun, karena jiwaku sudah terpaut padamu dan menjadi
potongan kisah yang tertera pada sisi nuranimu.
Ria.…coba
senyum untukku sebelum melanjutkan goresan ini. Aku sangat mengharapkan engkau
bisa datang ketika kisahku akan pergi. Tapi aku tetap bahagia, walau ada rasa
kecewa seandainya engkau tidak sempat melihat kepergianku. Aku janji akan menunggu
mu di seberang dunia sana .
Kedua orang tua dan adik yang kusayangi sangat mengharapkan agar engkau bisa
hadir. Mereka telah mengetahui semuanya dan menerima segalanya tentang kita.
Sebelum hari kasih sayang dan keberangkatanku, mereka minta saya siapkan sebuah
kado untuk diberikan pada mu di hari kasih sayang nanti. Empat puluh delapan
jam kulewati waktuku yang masih memberi segumpal harapan dengan memikirkan kado
yang terindah. Sementara angin datang lalu pergi lagi, datang lagi secara
bergantian bersama angin malam seakan membasuh hatiku untuk mengatakan ini
terbaik untukmu. Kado itu bukan lagi tatapan terindah dariku. Juga bukan
kecupan manis seperti waktu engkau merayakan sweet-seventen, tapi kado yang
akan selalu menemani dirimu di mana pun engkau berada, waktu siang atau di
malam hari. Ria…sekali lagi aku pergi karena Pemilik Cinta memanggilku. Kado
ini juga adalah kado buat orang tua dan adik-adikku, sebagai aku yang masih ada
untuk mereka. Kado yang tetap menghibur mereka ketika menatap dirimu.
Ria.…aku sendiri sangat bangga kalau
engkau ikhlas menerima pemberian terakhir dari diriku. Aku akan pergi dan
sampai pada batas mana aku berhenti untuk melangkah, aku juga belum tahu.
Keluargaku juga sudah menyetujui kado yang akan kuberikan untukmu. Aku percaya
hanya dirimulah yang mampu menerima dan mewujudkan keinginan ini. Keinginan
dari nurani yang akan kembali sepi berjalan sendirian di atas padang tak bernama. Engkau akan menjadi
bagian keluarga kami, meski tidak lagi menjadi bagian dari diriku. Maafkan aku
yang telah mencintai dirimu, yang dengan cintaku mungkin saja menambah luka
baru di atas luka lamamu yang belum terlalu sembuh. Selamat jalan dan semoga
berbahagia.
Kecupan terakhirku…Teriring salam dan doa
buatmu yang kucintai….
Puncak Malam, bln kedua 2008
Pangeran cinta
Dalam
ketakberdayaan Ria menghempaskan dirinya di atas tempat tidurnya sambil menahan
tangis dalam pelukan bundanya.
***
Ruangan unit
gawat darurat seakan gelap. Tim medis sibuk mencari jalan terbaik untuk menyelamatkan
tubuh segar dan wajah tampan itu. “Tuhan terimalah dia dalam kebahagian
Surgawi-MU”, menjadi doa terakhir orang tua dan adik-adik Gleend. Ruangan itu
akhirnya menjadi sungguh gelap. Denyut nadi Gleend sudah berdiri pada batas
terjauh. Usai sudah perjuangan Gleend melawan kangker paru-paru yang
menyiksanya selama 365 hari terakhir.
***
Pesawat pertama dari ibu kota provinsi baru tiba pukul 07.00 pagi di kota Renya. ” Gleend telah
pergi ke dunianya lima
menit yang lalu”, sapa bunda Gleend menyambut kedatangan Ria. Ria tidak percaya
menyaksikan drama tragedi yang ada di depan matanya Ia tak sanggup memandang
pangerannya pergi membawa cintanya. Ia mematung menatap tubuh pucat yang
terbujur kaku sambil menggenggam amplop putih bertuliskan, BUAT MARIA CHRISTIEN
Q-RAN. “Orang tuaku setuju kalau mata kananku disumbangkan untuk dirimu, karena
ku tahu engkau membutuhkannya. Semoga kebahagianmu menjadi sempurna dengan
kepergianku…Dari Pangeranmu”.
Dunia seakan
berguncang oleh gelombang kesedihan yang begitu dasyat. Tubuh Ria menjadi lesuh
dan tak berdaya usai membaca isi tulisan itu.
@@@
*Pernah dimuat di Pos Kupang
Comments
Post a Comment