Nyepi: dari “Bunyi ” ke “Sunyi”
Mungkin terasa aneh ketika laju aktivitas saban hari
bertempo tinggi dalam sebuah kota
metropolitan tiba-tiba saja terhenti. Tak ada geliat aktivitas kota yang sibuk.
Penduduk kota menyepi dari hiruk-pikuk. Jalinan komunikasi dan transportasi
dari dan ke kota tersebut dengan sendirinya terputus. Roda otomatisme ekonomi
yang nyaris tanpa jeda tiba-tiba berhenti bergerak. Arus “masuk” dan “ke luar”
kota pun stagnan. Orang-orang dengan sadar dan ikhlas memilih mengunci pintu dan
dengan takzim berdiam diri dalam sunyi. Sungguh tak dapat dibayangkan
bagaimana nasib lalu-lintas setiap sektor penting dalam kota itu. Demikianpun
entahkah para pendatang tidak kesulitan tercebur dalam situasi yang jarang
terjadi ini.
Hal yang nampak ganjil ini
berlaku di Bali, sebuah kota pariwisata internasional. Jika pengalaman tahun
2004 dan beberapa tahun lainnya terulang lagi, maka, pada tanggal 16 Maret
tahun ini keadaan pulau Dewata tidak banyak berbeda. Pada Hari Raya Nyepi ini mayoritas
penduduknya yang beragama Hindu pergi mencari sunyi dalam rumah-rumah mereka. Dengan
sedikit “mengurung diri” mereka mendamba ketenangan untuk menjalankan “Tapa
Brata Penyepian”, empat pantangan, meliputi tidak menyalakan api/lampu (amati
geni), tidak bekerja (amati karya), tidak bepergian (amati lelungan) dan tidak
mengadakan rekreasi atau bersenang-senang (amati lelanguan). Pulau “Seribu Pura” itupun menjadi layaknya kota
mati. Bali menjadi kota sepi, kota gulita.
Dalam suasana hening-tenang itu,
umat Hindu merayakan tahun Baru Saka. Momen
penting bagi kurang lebih 13, 5 persen penduduk dunia yang ber-“titik start”
ribuan tahun silam di India ini mempunyai arti khusus. Lazimnya, didahului
oleh upacara “melasti/mekiyis/ melis” (penyucian
diri dan alam semesta), “nyejer di pura” (upacara memohon anugerah kesucian dan
ketentraman batin menyambut Hari Raya Nyepi), “Pecaruan Tawur Kesanga”
(tindakan membina hubungan yang harmonis dengan Tri Hita Karana), Sipeng atau Nyepi
(hari pantang), dan disudahi dengan upacara “Ngembak geni” (momen silaturahmi
dengan keluarga besar dan tetangga) dan “Bethara Tutun Kabeh” sebagai upacara sembah
bakti dan mohon anugerah di tahun yang baru (http://www.antaranews.com/berita1266622765/prosesi-melasti-terkait-hari-suci-nyepi-berlangusng-tiga-hari).
Pada hari Nyepi ketenangan
sungguh tercipta sebagai gerbang menuju sebuah komunikasi spiritual yang lebih
akrab dengan tiga sebab yang memberi
kebahagiaan (Tri Hita Karana) yakni sesama umat manusia, lingkungan dan realitas tertinggi. Dalam keadaan demikian
manusia mengingat kembali jati dirinya. Manusia memurnikan diri dan membaharui
semangat hidup. Berbagai tindakan destruktif yang kerap dilakukan “disepikan”
untuk mengatakan direfleksikan dan diperbaharui. Tak lupa pula membangun
kesadaran akan ketakterpisahannya dari semesta. Kepekaan batin dimekarkan untuk
bertaut dengan dunia. Selanjutnya, keheningan ini pun membuka ruang untuk melakukan
pendakian rohani merengkuh atman (jiwa).
Singkatnya, dalam keheningan itu tak ada lagi kemustahilan untuk menerobos
tapal batas personal dan temporal. Dalam
keheningan membangun intimitas dengan diri, sesama dan realitas tertinggi
menjadi mungkin.
Setelah mengingat sejarah krisis
dan konflik sosial berkepanjangan antarsuku di wilayah India yang berhasil
dimenangkan suku Saka dan tampilnya raja Kanishka I sebagai penyatu, umat Hindu
kini memaknai arti penting sejarah kelam itu sebagai fajar baru untuk menata
hubungan sosial yang tampan. Dari sejarah lahirnya tarikh Saka yang jatuh
setiap 420 hari ini, hawa persatuan dan kesatuan berikut toleransi yang
dihembuskan dari anak Benua India itu mesti merebak ke segenap semesta. Tak
terkecuali menghembusi bumi pertiwi dan menginspirasi penduduknya yang tak
pernah sepi dari ancaman disintegrasi oleh sebab permusuhan dan pertikaian
antar suku, agama dan kelompok sosial.
Pada momen penting ini hubungan
yang dibangun dengan alam semesta dengan menjalankan sejumlah upacara tertentu mengindikasikan
cita-cita harmonisasi manusia dan alam. Manusia adalah bagian integral dari
alam. Keduanya niscaya dan saling bertautan sebagai satu kesatuan dalam ranah
komunitas kehidupan. Pemaknaan keheningan oleh Umat Hindu yang mensambangi
nusantara sejak abad 4 Masehi ini membawa banyak arti penting bagi dunia pada
umumnya. Jika sekadar diandaikan, ketika banyak penduduk kota “yang tidur” dan
tidak banyak beraktivitas dapat dibayangkan berapa banyak pengurangan emisi
buangan. Di tengah situasi dunia yang dicemaskan oleh eskalasi krisis
lingkungan, tindakan momental penuh kesadaran itu menjadi praktis dan urgen. Tindakan
sunyi-hening selama 24 jam ini sedikit memberi arti bagi pemeliharaan
keseimbangan lingkungan. Jika saja seluruh dunia memberi kesempatan satu hari
saja untuk mengistirahatkan alam dari berbagai aktivitas polutif maka
betapa terbantunya alam kita yang sedang sakit ini.
Alam tengah mendamba penghijauan. Lingkungan yang porak-poranda akibat ulah tangan-tangan serakah dan nafsu
kapitalistik tengah menanti perhatian dan tindakan kuratif. Spirit harmoni semesta umat Hindhu dapat
menjadi semboyan bersama untuk bersikap selektif, kritis dan aplikatif terhadap pertambangan dan berbagai tindakan
eksploitatif lainnya. Inilah universalisme hikmah perayaan Nyepi yang layak
kita petik.
Comments
Post a Comment