Mitos-mitos Tentang Matematika dan Filosofi Vallentino Rossi
Oleh: Kamilus Seran*
What if I had never tried it? (Apa yang terjadi kalau saya dulu tidak
pernah mencobanya?). Rossi menulis dengan tajam mengenai pengalamannya di dunia
balap motor. Rossi memaparkan dengan jelas soal kepindahannya dari tim juara
Honda ke tim Yamaha tiga tahun lalu. Hal ini menjadi alasan utama bagi Rossi
untuk menyatakan bahwa dia sudah mengubah mitos di dunia balap motor.
Ketika pada tahun 2003
Rossi memutuskan untuk pindah dari tim Honda ke tim Yamaha, hampir semua yag
berkecimpung di dunia balap motor tercengang. Perpindahan itu boleh dibilang
tidak mengikuti pemikiran logis.
Pada awalnya Rossi
tidak betul-betul serius berpikir untuk pindah ke Yamaha. Alasannya karena dalam
dua tahun (2002-2003) balap MotoGP, Honda betul-betul mendominasi dan mereka
yang berkecimpung di Honda (baik bos perusahaan maupun tim mekanik) beranggapan
bahwa kemenangan di setiap balapan sudah menjadi sebuah keharusan, bukan lagi
tantangan. Menurut Rossi, Honda mulai beranggapan bahwa yang menentukan
kemenangan sebuah balapan adalah mesin motor, bukan pembalapnya. Honda
beranggapan siapapun pembalapnya, kalau mesinnya Honda, mereka pasti menang.
Bagi Rossi, anggapan ini adalah sebuah mitos yang perlu ia buktikan. Dan memang
Rossi berhasil membuktikannya dalam lomba pertama pada tahun 2004 di Welkom,
Afrika Selatan. Rossi membuktikan hal yang mustahil tersebut. Bahwa dia sanggup
meraih juara pertama bersama tim Yamaha, bukan bersama tim Honda. Sekali lagi
bukan bersama tim Honda.
Pengalaman di Welkom
itu memacu Rossi untuk menulis, “Ada kalimat di dunia balap motor yang mengatakan, kalau ingin jadi juara dunia, balaplah dengan Honda. Namun kisah di
Afrika Selatan telah mendobrak mitos balap motor dunia. Dunia perlu sadar akan
betapa pentingnya masukan dari manusia (dari seorang pembalap). Saya telah
membuktikan hal tersebut.”
Kisah
Rossi ini melahirkan inspirasi dalam diri saya untuk menulis tentang
mitos-mitos mengenai matematika yang sudah sekian lama “bertengger” di benak
para pelajar sekolah menengah. Bagi kita (terutama kaum muda), bila Rossi, yang
nota bene tidak sempat menamatkan pendidikan SMUnya, sanggup mendobrak mitos
tentang dunia balap motor dengan filosofinya, mengapa kita tidak sanggup
mendobrak mitos-mitos tentang matematika? Bila Rossi yang tidak selesaikan
pendidikan SMUnya bisa berjuang hingga meraih gelar the Doctor, mengapa kita tidak sanggup mengubah realitas pelajaran
matematika di sekolah-sekolah menengah? Kita bisa, kalau kita berpikir kita
bisa. Kita sanggup, ketika kita berpikir kita sanggup.
Matematika
merupakan pelajaran yang amat problematis. Persoalan ini bukan saja dalam skala
nasional tetapi juga dalam skala internasional. Upaya-upaya untuk mengakrabkan
para pelajar dengan matematika pun dikerahkan, misalnya dengan adanya
lomba-lomba, olimpiade nasional dan internasional atau MIPA Center. Namun
matematika itu bagaikan momok yang menakutkan, menjengkelkan dan sangat
membosankan. Sampai-sampai lahir mitos-mitos tentang matematika di benak
publik, terutama para siswa. Sebut saja, kebanyakan siswa beranggapan bahwa
seorang guru matematika yang tampil bersahabat adalah sesuatu yang nampaknya
langka. Sebaliknya seorang guru matematika yang sulit didekati dan killer adalah sesuatu yang sama sekali
tidak luar biasa. Anggapan umum ini menyatakan bahwa tidak asing bila seorang
murid berjumpa dengan seorang guru matematika yang kurang bersahabat. Memang
itulah anggapan umum yang boleh dilihat sebagai salah satu mitos yang sejak lama
berkembang di kalangan para pelajar sekolah menengah. Secara terperinci
mitos-mitos tentang matematika dapat disebutkan seperti yang berikut ini.
Pertama, anggapan bahwa untuk belajar matematika diperlukan bakat istimewa yang
tidak dimiliki semua orang. Kita tidak perlu beriming-iming untuk jadi
seperti Isaac Newton dan Albert Einstein yang genius itu. Cukup kita sadari
bahwa sejak lahir kita semua dianugerahi talenta masing-masing. Karena itu
kemampuan kita pun berbeda. Sekalipun demikian kemampuan bermatematika itu ada
dalam diri kita secara kodrati. Kemampuan itu sama seperti kemampuan berbahasa
sebagaimana matematika itu sendiri merupakan sebuah bahasa. Berkenaan dengan
ini Galileo Galilei (1564-1642) yang ahli
matematika dan astronomi itu pernah mengucapkan kata-kata termasyur ini; Alam semesta itu bagaikan sebuah buku
raksasa yang hanya dapat dibaca kalau orang mengerti bahasanya dan akrab dengan
lambang dan huruf yang dipakai di dalamnya. Bahasa alam semesta itu tidak lain
adalah matematika. Jadi seperti kemampuan berbahasa, kemampuan
bermatematika pun dimiliki setiap orang secara natural. Buktinya, sekalipun
seseorang tidak mengenyam pendidikan formal, namun dia masih bisa melakukan
kalkulasi, mungkin bukan dalam bahasa formal tetapi dalam bahasa daerah.
Persoalannya, bagaimana kita yang mengaktifkan dan mengakrabkan diri dengan
lambang-lambang bahasa alam itu? Di sini pendidikan formal memainkan
peranannya. Dengan ini jelas bahwa kemampuan bermatematika juga menjadi prinsip
yang membedakan manusia dari makluk hidup lainnya. Alasan ini membuktikan bahwa
anggapan tersebut di atas hanyalah mitos.
Kedua,
Matematika Hanya Mengandalkan Otak.
Dalam belajar matematika, logika dan kecerdasan otak saja tidak cukup. Untuk
itu diperlukan kreatifitas dan intuisi manusia untuk melahirkan keindahan
matematika itu sendiri. Bila tidak maka apa yang disebut keindahan matematika
itu tidak pernah nampak. Pada pihak lain ciri estetika matematika baru nampak
ketika seorang siswa menghadapi kesulitan dan tantangan, lalu berusaha untuk
mengatasinya. Yang perlu diketahui dalam kasus ini adalah bahwa kekaguman pada
segi keindahan dan keteraturan itu justeru sering menjadi sumber motivasi untuk
menemukan terobosan-terobosan baru.
Ketiga, Matematika itu Ilmu Berhitung.
Kalau kita berpikir seperti itu maka kita sebetulnya tidak perlu belajar
matematika di era yang serba modern ini. Alasannya cukup jelas bahwa kalkulator
dan komputer melakukan kalkulus yang jauh lebih cepat dan tepat ketimbang
manusia. Namun matematika tidak seperti itu. Memang hal berhitung tidak bisa
kita hindari. Tetapi matematika lebih
dari itu mengajar orang untuk memahami mengapa perhitungan itu diselesaikan
dengan suatu cara atau proses tertentu.
Keempat,
Matematika Mengutamakan Jawaban yang
Benar. Yang paling penting dalam matematika bukanlah jawaban yang benar,
sekalipun jawaban yang benar itu harus diusahakan. Yang paling penting adalah
bagaimana proses, penalaran dan metode yang dipakai untuk memperoleh jawaban yang benar. Dalam
hal ini kita perlu kembali kepada Rossi dan belajar padanya. Pada usia 17
tahun, karena kemahiran dan penampilannya yang amat skillful di dunia balap motor, Rossi pernah ditawar untuk langsung
beraksi pada kelas 550cc, padahal normalnya dia harus lebih dahulu melewati
kelas 250cc. Namun filosofi Rossi mengatakan bahwa dia harus melewati kelas
250cc lebih dahulu, sebelum ia tiba di kelas 550cc dan menduduki urutan pertama
untuk semua kelas tersebut. Rossi dalam hal ini sangat menghargai proses. Bagi
Rossi, proses lebih penting daripada hasil. Dalam banyak hal, kita sering tidak
menghargai proses.
Kelima,
Perempuan Kurang Berbakat Matematika.
Bias gender ini tidak benar dan tidak beralasan. Bila kita benar-benar
menelusuri bingkai sejarah matematika maka di sana kita akan menemukan para
matematikawan yang genius mulai dari Hypatia dari Alexandria (370-415) sampai
Emmy Noẻther (1882-1935), serta ribuan lainnya yang tidak terkenal. Mereka
semua turut menyumbangkan jasanya dalam proses mengembangkan dan mengajarkan
matematika.
Ternyata
semuanya itu hanyalaha anggapan publik yang tidak lain dan tidak bukan adalah mitos-mitos
yang patut dinegasikan. Dan langkah yang layak ditempuh untuk menegasikan
mitos-mitos itu hanyalah dengan semangat verifikasi, semangat yang seharusnya
dimiliki oleh kaum muda.
Salah satu petuah yang diterima wartawan baru di
BBC (British Broadcasting Corporation) adalah ihwal pentingnya verifikasi.
Petuah itu kira-kira berbunyi: jangan
pernah menerima mentah-mentah setiap informasi yang diperoleh, bahkan dari
narasumber yang paling kredibel sekalipun; selalulah diverifikasi (cek
silang) ke sumber lain yang independen. Di mata lembaga penyiaran terkemuka
yang bermarkas di Inggris itu, verifikasi adalah proses yang harus dilalui
sebelum sebuah berita disiarkan.
Petuah itu pula yang membuat BBC hampir
tidak pernah memberitakan dengan serta-merta sebuah peristiwa, sedahsyat apapun
peristiwa itu, jika hanya satu kantor berita yang menyiarkannya. BBC akan
menahan diri, sampai ada sumber independen lainnya (entah wartawannya sendiri
yang diterjunkan ke lokasi, atau dari kantor berita lain) yang melaporkan
peristiwa tersebut.
Ciri khas lembaga penyiaran
terkemuka itu adalah kejelian dan kejituannya dalam menyaring berita. Tidak
semua informasi diterima begitu saja tanpa mempertimbangkan, mempertanyakan dan
atau membuat pertimbangan-pertimbangan kritis. Dengan semangat ini (Spirit of
Verification), BBC telah dikenal luas sebagai lembaga penyiaran yang paling
handal.
Sebagai orang-orang yang berorientasi jauh ke
depan, kaum muda (teristimewa kaum terpelajar) perlu memiliki semangat
verifikasi. Pengalaman atau kisah tentang Rossi (terkhusus filosofinya)
menolong kita untuk mengintrospeksi diri dan melihat anggapan-anggapan umum
yang sudah mapan diterima dalam dunia kita. Bahwasannya kita perlu
mempertanyakan sebuah informasi secara kritis sebelum akhirnya kita mengambil
keputusan untuk menerima informasi tertentu. Dengan itu kita dapat
menghindarkan diri dari perihal menerima sebuah informasi dengan serta-merta
tanpa mempersoalkannya. Tentu saja dalam hal ini kita perlu mencontohi seorang
Rossi yang bertekad membuktikan anggapan lama yang sudah mapan di dunia balap
motor. Rossi tidak menerima anggapan itu begitu saja dan sebagai follow-upnya ia berani meninggalkan tim
Honda untuk membuktikan anggapan bahwa
mesin Honda lebih penting dari manusia, itu hanyalah mitos. Dengan itu ia
berhasil memelekkan mata orang-orang yang berkecimpung di dunia balap motor
bahwa manusia lebih penting dari mesin Honda. Rossi memang orang yang berani
meragukan anggapan lama yang sudah mapan diterima di dunia balap motor.
Hal paling penting yang hendak
dipersoalkan di sini adalah bahwa kita belum sanggup meragukan anggapan lama
yang dicantelkan pada matematika. Dengan belajar dari filosofi Rossi, bukankah
saat ini kita pantas melepaskan mitos-mitos tentang matematika? Bila kita tidak
meragukannya, jangan bermimpi bahwa kita akan berhasil mencapai standard UAN,
yang nota bene terus ditingkatkan dari tahun ke tahun. Bila kita tidak sanggup
membuang mitos-mitos itu, jangan berharap bahwa kita akan mengubah realitas
ketertinggalan kita di ajang-ajang nasioanl, apalagi internasional. Sekalipun
kita punya dasar untuk berharap bahwa kualitas orang-orang kita cukup memadai.
Namun saya menganjurkan, sekali-kali jangan berharap kalau memang kita belum
sanggup menepis anggapan-anggapan klasik itu.
Kembali kepada
persoalan mitos-mitos tentang pelajaran matematika, untuk memulihkan kondisi
lama (mitos-mitos tentang matematika) yang telah merasuki pola pikir kedua
belah pihak (baik siswa maupun guru), berikut ini ada beberapa poin penting
yang layak digarisbawahi, sehingga mitos-mitos tentang matematika dapat
dinegasikan.
Pertama, kita Perlu mengubah cara kita memandang realitas. Martin Heidegger
pernah mengatakan bahwa kalau kita ingin menghindarkan diri dari bahaya
teknologi dan meresapkan kekuatannya maka kita perlu mengubah cara kita
memandang teknologi itu sendiri. Hal yang sama dapat kita posisikan pada
persoalan menghadapi matematika. Dalam belajar matematika kita juga perlu
mengubah cara kita memandang matematika, yang berarti kita pantas membuang
mitos-mitos tentang matematika yang sudah sejak lama mempengaruhi cara kita
menghadapi matematika. Alasan ini memberi satu petunjuk bahwa setiap informasi
yang ditawarkan dari luar tidak harus kita terima dan mengkonsumsikannya secara
begitu saja tanpa mengolah atau mempertanyakannya secara kritis. Sampai pada
titik ini, verifikasi sebagai jiwa kaum muda kembali memainkan peranannya.
Bahwa kita perlu mengambil sikap tenang dengan maksud kita tidak perlu
menanggapi suatu informasi secara sedemikian negatif. Bahwa penting bagi kita
untuk memandang realitas dari sudut-sudut positifnya juga.
Kedua, Kebebasan Seorang Siswa Perlu Dihargai. Kelompok orang-orang yang
belajar matematika seharusnya dilihat sebagai kelompok orang-orang yang
berminat di bidang matematika. Karena dikatakan kelompok orang-orang berminat
maka mereka harus memilih secara bebas. Dengan ini seorang siswa akan merasa
bebas dalam usaha belajarnya. Ia bukan belajar matematika karena tuntutan dari
orang tua, misalnya. Hal ini tentunya sangat positif bagi lahirnya suatu cara
berpikir yang bebas dan kreatif.
Ketiga, Ajaran Filsafat
Konstruktifisme yang menekankan tiga hal berikut ini; 1) Guru Harus Bertindak
Sebagai Fasilitator. Di sini guru mempertanyakan, menantang dan menyediakan
sarana agar proses konstruksi ilmu terus berjalan. Dengan demikian dalam
bingkai pemahaman ini sama sekali tidak benar ketika guru berjuang untuk
menerapkan gaya mengajar dengan memindahkan secara lurus apa yang ada dalam
pikirannya ke dalam pikiran siswa. Gaya mengajar yang demikian merupakan gaya
klasik yang sudah layak kita tanggalkan. 2)
Siswa Menambah Pengetahuannya dengan
Berelasi dengan Teman-temannya. Pengetahuan itu lebih kuat dibangun melalui
relasi antarsesama teman. Misalnya para siswa menjadikan obyek pengetahuan yang
sedang digumuli sebagai bahan perbincangan dan bahan diskusi. Lebih dari itu
penjelasan yang diperoleh di kelas akan menjadi lebih jelas dan mudah ditangkap
bila bahan yang sama disajikan dalam diskusi-diskusi kelompok. 3) Keaktifan
Siswa Sangat Ditekankan. Keaktifan anak didik sangat ditekankan. Anak didik
dibiarkan belajar secara kreatif dengan mencari berbagai persoalan dan
menyelesaikannya. Bila ada kesulitan barulah yang bersangkutan mendekati
gurunya. Guru tidak boleh serta-merta mempersalahkan anak didik tetapi
membiarkan siswa belajar dari kesalahan sendiri. Di sini devoid of sensitivity, kindness and patience dari seorang guru
lebih diuji, entah kecerdasan emosinal dan kecerdasan tingkah lakunya memadai
ataukah tidak.
Filsafat konstruktifisme akhir-akhir ini telah mempengaruhi pendidikan
sains dan matematika di Amerika, Eropa, Australia, dan beberapa negara di Asia.
Kita mengakui bahwa untuk pendidikan matematika, kita perlu menerapkan paham
ini. Pertimbangannya jelas bahwa dengan menerapkan prinsip-prinsip ini para
siswa akan merasa lebih bebas dalam berpikir. Lebih dari itu setiap siswa
dipacu untuk belajar mencari dan dengan itu mereka juga berjuang untuk
menemukan sesuatu yang baru. Dengan bermodalkan pandangan filsafat konstruktifisme para pelajar dapat membina sikap kreatif dan
semangat inovatif dalam belajar dan mengembangkan matematika.
Dengan
belajar dari filosofi Rossi, verifikasi sebagai roh kaum muda dan filsafat
konstruktifisme yang mengajarkan kebebasan dan keaktifan serta kreatifitas
siswa, sebenarnya kita sudah memiliki lebih dari cukup alasan untuk menegasikan
mitos-mitos tentang matematika. Matematika sudah meresap ke seluruh bidang
kehidupan manusia. Matematika pada prinsipnya bukan satu tuntutan semata yang
harus dipenuhi oleh siswa-siswa pada jenjang sekolah menengah. Lebih dari itu
matematika harus dipandang sebagai satu ciri yang membedakan manusia dari
makhluk hidup lainnya, sebab kemampuan bermatematika dimiliki setiap orang
secara kodrati. Logikanya, usaha menghindari prinsip-prinsip matematika
(mengelak dari perihal belajar matematika) pantas dilihat sebagai usaha
menyangkal kemanusiaan kita di era yang semakin modern ini. Matematika sudah
sejak lama dipandang dan diterima sebagai ratu serentak abdi bagi ilmu-ilmu
yang lain. Dengan demikian belajar dan mengembangkan matematika sudah merupakan
usaha yang sangat human. Sebaliknya
memelihara mitos-mitos tentang matematika, justeru hal itu yang tidak human. Untuk mencapai harapan kita yang
humanistis ini, kita (para guru dan para siswa) perlu bersama-sama belajar
secara kreatif dengan tetap mempertahankan konsep kebebasan kita yang
bertanggung jawab.
*Pernah diterbit Pos Kupang, 12 dan 13 April 2006
Comments
Post a Comment