HAM, KEKERASAN, DAN GERAKAN ANTI KEKERASAN
(Refleksi Seputar Hari HAM Sedunia)
Oleh Salvano Jaman*
Tindakan kekerasan menjijikkan kita. Namun, tindak
kekerasan juga memikat kita. Tindakan kekerasan menggelisahkan kita. Namun,
tindakan kekerasan juga melindungi kita.
Deretan
kalimat bernada paradoks di atas sebenarnya mengungkapkan realitas manusia yang
berada dalam alur pemikiran ganda tentang kekerasan. Di satu sisi, manusia
menjadi pembenci kekerasan, mengutuk kekerasan. Ini tercermin dalam pelbagai
gerakan anti-kekerasan dan upaya menghapus kekerasan dari muka bumi. Kita telah
bergerak menuju sebuah masyarakat anti-kekerasan.
Namun,
di sisi lain, manusia menjadi ‘pencinta kekerasan’. Hal ini nyata dalam aneka
aksi kekerasan yang terjadi. Kekerasan menjadi alat dan sarana yang dipakai
‘kelompok manusia’ ini dalam mencapai suatu tujuan tertentu. Semakin nyaring
ada teriakan anti-kekerasan, tampaknya semakin marak juga aksi kekerasan itu
terjadi. Semakin meluas gerakan anti-kekerasan, semakin kejam juga kekerasan
itu mengambil bentuknya. Kian sering kita membuat diskusi dan seminar tentang
kekerasan dan upaya mengatasinya, semakin mengkhawatirkan menyaksikan bagaimana
kekerasan itu mendominasi pola pergaulan antarmanusia. Di lingkungan anak-anak
pun kekerasan sampai pada tingkat pembunuhan sudah terjadi. Masyarakat NTT
mestinya sangat terkejut dan digoncangkan oleh berita mengenai kematian seorang
siswa karena dianiaya oleh 12 teman sekolah-nya di Mbay-Ngada (bdk. Pos Kupang, 1 Desember). Sudah sejauh
itukah masyarakat kita? Bukankah kita sedang gencar-gencarnya mengkampanyekan
pendidikan tanpa kekerasan, dengan berbagai paket pelatihan untuk guru dan
murid?
Kenyataan-kenyataan
yang kontradiktoris di atas menyadarkan kita bahwa kita tidak dapat melawan
kekerasan hanya dengan meneriakkan slogan anti-kekerasan. Kita membutuhkan
sebuah telaah yang lebih dalam mengenai hakikat kekerasan dan mekanisme
penggunaan kekerasan. Hanya dengan demikian, sebuah gerakan anti-kekerasan
dapat lebih berdayaguna menghadapi meluasnya praktek kekerasan.
Kita
perlu mendefinisikan kekerasan berdasarkan orang yang menggunakan
kekerasan. Maksudnya, kita bukan baru
berbicara tentang kekerasan apabila sudah terjadi akibat tertentu yang melukai
seorang korban. Kekerasan terutama terletak pada intensi dan cara yang dipakai
seorang pelaku terhadap orang lain. Dari perspektif ini, kekerasan adalah
tindakan atau sikap atau perkataan yang memaksakan seseorang melakukan atau
tidak melakukan sesuatu. Intensi penggunaan kekerasan adalah memaksakan
kehendak kita pada orang lain, entah itu berarti dia mesti melakukan sesuatu
yang dia kehendaki atau tidak dia kehendaki. Media kekerasan bisa dapat
berbentuk benda, sikap, dan kata-kata. Sebab itu, kita mengenal adanya
kekerasan fisik, kekerasan mental dan kekerasan verbal.
Kekerasan,
kendati menimbulkan reaksi menakutkan dan karena itu ditolak, tetapi juga
merupakan sebuah fenomen yang menarik dan yang memiliki daya tarik. Apa yang
disebut Rudolf Otto tentang yang ilahi tampaknya dapat dikenakan juga pada
kekerasan: dia bersifat tremendum et fascinoscum. Kekerasan menakutkan,
tetapi sekaligus memiliki daya tarik, sekurang-kurangnya karena dua alasan.
Pertama, karena kekerasan adalah ekspresi kekuasaan. Orang yang menggunakan
kekerasan biasanya adalah orang yang dalam keadaan normal tidak sanggup
meyakinkan orang lain, karena itu menyimpan tekad untuk mengalahkan lawan
dengan menggunakan paksaan. Penggunaan kekerasan memberikan rasa pasti untuk
dapat mengalahkan lawannya. Dan mengalahkan lawan mendatangkan rasa puas. Orang
puas di hadapan korban yang menjadi tidak berdaya di hadapan kekerasan yang
digunakan untuk mengancam dan memaksanya.
Kedua, rasa tertarik terhadap kekerasan juga muncul karena kekerasan memberikan
penyelesaian yang cepat terhadap sebuah persoalan. Meminta seseorang secara
baik-baik melakukan sesuatu menuntut keahlian untuk membujuk atau meyakinkan
dan kesabaran yang tinggi. Orang-orang yang merasa tidak berdaya karena
kekurangan kemampuan untuk berbicara, akan cenderung menggunakan kekerasan.
Semakin sulit orang yang dihadapinya, dan semakin tinggi kebutuhannya yang
diharapkan dipenuhi orang tersebut, maka semakin tinggi kemungkinan dia
menggunakan kekerasan. Demikian pula, tingkat kemendesakan pemenuhan kebutuhan
mendorong orang untuk menggunakan kekerasan. Semakin mendesak satu kebutuhan
dan semakin besar rintangan untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka semakin
orang terdorong untuk memanfaatkan jalan pintas.
Karena
kekerasan memiliki daya tarik, maka satu tindak kekerasan akan mudah memancing
tindak kekerasan lainnya. Kekerasan-kekerasan yang dilakukan dan diberitakan
dapat menjadi pendorong lahirnya tindak kekerasan lain. Itulah sebabnya,
mengapa kekerasan yang diberitakan atau yang ditayangkan melalui media massa,
khususnya televisi, seringkali disebut sebagai pemicu satu tindakan kekerasan
oleh anak-anak yang melakukan tindak kekerasan.
Kenyataan
daya tarik kekerasan itu juga menjadi alasan, mengapa kita mesti menempatkan
kekerasan dalam bingkai HAM dan mencari strategi penyelesaian yang jauh lebih
kompleks daripada sekadar membunyikan slogan-slogan anti-kekerasan.
Tanggal
10 Desember 1948 menjadi tonggak sejarah dalam ziarah peradaban dunia. Ia menjadi hari
yang penuh arti karena melahirkan deklarasi universal tentang HAM, di
dalamnya martabat manusia dihargai dan dijunjung tinggi. Deklarasi HAM ini muncul setelah
dunia mengalami pengalaman pahit dan tragis semasa Perang Dunia II. Kekerasan
itu hadir dalam gerakan nasional-sosialisme Jerman dan Imperialisme Jepang.
Lahirnya pernyataan tentang HAM adalah sebuah bentuk keprihatinan dunia atas
situasi yang menindas pada masa itu, sekaligus bentuk perhatiannya terhadap
kehidupan manusia selanjutnya. Pengalaman pahit yang berdampak global telah
membuka kesadaran dunia internasional untuk menangani hak-hak asasi manusia
secara global pula.
Perumusan
HAM yang tidak hanya mencakup hak-hak politik tetapi juga meliputi hak-hak
sosial dan ekonomis mencerminkan keyakinan, bahwa manusia baru dihargai sesuai
martabatnya apabila baik hak-hak politiknya maupun kebutuhan sosial dan
tuntutan ekonomisnya dipenuhi. Kehidupan yang aman dan bebas dari kekerasan
adalah satu kondisi sosial yang dituntut agar manusia dapat hidup sesuai
martabatnya. Demikian juga ketersediaan bahan-bahan kebutuhan dasar adalah
kondisi hakiki yang menentukan kehidupan manusia yang layak.
Memperhatikan
cakupan HAM yang menyeluruh ini, maka kekerasan sebagai satu bentuk pelanggaran
HAM pun harus dilihat secara menyeluruh. Ada beberapa dimensi kekerasan yang
patut diangkat dalam kaitan dengan HAM.
Pertama, kekerasan merupakan satu bentuk pelanggaran HAM, karena orang lain
dipaksa melakukan yang bukan merupakan kewajibannya atau tidak melakukan
sesuatu yang merupakan haknya. Orang mempunyai hak untuk melakukan sesuatu yang
benar dan tidak melakukan sesuatu yang tidak benar. Apabila dia dipaksa untuk
tidak melakukan sesuatu yang benar atau untuk melakukan sesuatu yang tidak benar, maka pemaksaan seperti ini
merupakan satu bentuk pelanggaran HAM. Sebaliknya, kita tidak dapat berbicara
tentang pelanggaran HAM apabila seseorang dipaksa untuk tidak melakukan sesuatu
yang bukan merupakan haknya atau untuk melakukan sesuatu yang menjadi
kewajibannya.
Kedua, kekerasan mempunyai kaitan erat dengan ketidakadilan ekonomi. Realitas
menunjukkan adanya distribusi kekayaan yang timpang. Sebuah wilayah bisa saja
memiliki sumber daya alam yang lebih kaya, tetapi sebagian besar penduduknya
hidup dalam kemiskinan. Hal ini bisa terjadi karena potensi sumber daya itu
dieksploitasi oleh pihak tertentu yang notabene lebih berkuasa daripada yang
lain. Di sini, pihak lain disisihkan. Kekerasan dalam kategori ini juga bisa
terjadi ketika kelompok manusia yang berkuasa menggunakan pihak
tertentu--misalnya kaum tak berdaya atau miskin--sebagai sarana atau alat
produksi untuk mencapai keinginan pihak yang kaya. Dalam hal ini, kaum yang
‘dipakai’ ini tidak menikmati pekerjaan dan hasil pekerjaannya. Dua realitas
ini menunjukkan adanya pelanggaran atas HAM. Kaum ‘lemah’ tidak menikmati atau
memperoleh sesuatu yang harus menjadi haknya. Penggunaan manusia sebagai sarana
produksi untuk memenuhi keinginan pihak tertentu, adalah juga sebuah bentuk
penyangkalan terhadap martabat manusia itu sendiri; melanggar HAM. Ketika manusia
dipandang sebagai alat, maka saat itu juga ia bisa dengan mudah diatur, tidak dihargai
dan bisa melahirkan praktek kekerasan. Dalam hal ini, mereka menjadi pribadi
yang tidak bebas dan tidak otonom karena selalu berada dalam kekuasaan pihak
tertentu.
Di dalam kondisi
ketimpangan ekonomi ini banyak warga dipaksa untuk berpikir pendek dan mencari
solusi-solusi pintas untuk menyelesaikan persoalannya. Orang yang miskin akan
mudah dibayar untuk melakukan tindak kekerasan terhadap musuh politik atau saingan
ekonomi kelompok orang tertentu. Kemiskinan merupakan salah satu sebab yang
mendorong meluasnya tindak kekerasan.
Ketiga, kekerasan dalam bentuk praktek hukum yang tidak adil. Kekerasan dalam
kategori ini terjadi ketika hukum ‘mengabdi’ pihak-pihak tertentu. Dalam hal
ini, hukum menjadi alat untuk melindungi mereka dari tindakan yang melanggar
hukum dan bahkan membenarkan tindakan-tindakan mereka oleh hukum. Hukum
dimanipulasi untuk melindungi pihak tersebut. Kasus suap hakim, penindasan
terhadap jaksa, suap saksi untuk memberikan keterangan palsu adalah sejumlah
cara yang dipakai untuk mencapai maksud
di atas. Tindakan seperti ini melahirkan apa yang disebut nepotisme yang adalah
sebuah bentuk ketidakadilan. Praktik hukum yang membiarkan para pelaku kejahatan
publik tak tersentuh hukum sebenarnya memberikan kesan bahwa kekuasaan pada
dasarnya bebas dari segala bentuk kontrol. Kenyataan seperti turut memupuk
suasana meluasnya praktik kekerasan dalam masyarakat.
Perdamaian
dan keadilan hanya akan tercipta lewat tindakan bermoral, tindakan
anti-kekerasan. Dengan kata lain, perdamaian dan keadilan adalah buah dari
gerakan anti kekerasan. Gerakan anti-kekerasan akan mengarahkan kita pada suatu
dasawarsa penghapusan kekerasan. Dasawarsa penghapusan tindak kekerasan (Decade
to Overcome Violence) adalah suatu cetusan sekaligus harapan Dewan
Gereja-Gereja (DGG) sedunia dalam musyawarah Paripurna-nya ke-8 di
Harare-Zimbabwe,1998 (Bdk. Diana Mavunduse dan Simon Oxley dalam Mengapa
Tindak Kekerasan? Mengapa Bukan Damai? Hal.4). DGG menyadari kebutuhan
mendesak untuk menghapus kekerasan dari muka bumi ini, sekaligus jawaban atas
kerinduan manusia akan perdamaian. Saya tidak bermaksud untuk menjelaskan
panjang lebar tentang DGG, tetapi sebagai sebuah ajakan untuk kita semua untuk
bersama-sama mewujudkan suatu periode penghapusan kekerasan seperti yang diharapkan
DGG. Harapan DGG ini adalah harapan kita semua.
Akhirnya, kita perlu berjuang untuk menciptakan keadilan
dan perdamaian lewat aksi anti-kekerasan (non-violence). Gerakan
anti-kekerasan bukanlah suatu pasivitas, melainkan suatu tindakan aktif dengan berupaya
memperbaiki tatanan kehidupan tanpa menggunakan kekerasan. Gerakan anti kekerasan--atau ahimsa a la
Mahatma Gandhi--adalah gerakan yang sangat bermoral dan manusiawi karena ia
berpangkal pada nurani manusia. Gerakan anti kekerasan sangat membuka peluang
terciptanya tatanan kehidupan yang beradab di mana martabat atau Hak-hak Asasi
Manusia (HAM) dihormati, dihargai dan dijunjung tinggi. Kapan
dasawarsa penghapusan kekerasan itu terwujud? Kita mulai dari sekarang.
*Pernah terbit di Pos Kupang, Kamis, 14 Desember 2006
Comments
Post a Comment