G-30-S, ORDE BARU DAN KEWASPADAAN SEJARAH
Oleh: Silvester Ule
Tanggal 30 September
bermakna ganda bagi bangsa Indoensia. Di satu sisi, ia bisa dihayati secara
biasa dan banal, seperti hari-hari lainnya dalam perjalanan waktu di tahun ini
(sebagai tanggal 30 September 2007), dan di sisi lain ia bisa dihayati secara
khusus, sebagai kenangan akan sebentuk sejarah yang pernah dikeramatkan Orde
Baru (sebagai tanggal 30 September 1965). Di antara keduanya terbentang jarak
waktu yang jauh, dan terkandung segudang ceritera yang berbeda.
Pada masa Orde Baru, tanggal ini diperingati
sebagai hari pemberontakan G-30-S/PKI dna peringatan kematian para pahlawan
revolusi. Orde Baru memperingatinya sebagai hari gerakan pemberontakan
berupa pembunuhan para Jenderal yang dituduh didalangi PKI, pada tanggal 30 September 1965 . Tanggal
30 September 1965 sekaligus merupakan cikal bakal lahirnya Orde Baru dan hari
Kesaktian Pancasila pada tanggal 1 Oktober. Dapat dikatakan bahwa sejarah
panjang Orde Baru dimulai pada tanggal 30 September 1965 .
Pada masa ini,
tanggal ini cenderung perlahan-lahan dilupakan, baik sebagai akibat dari adanya
kesadaran baru akan sejarah, atau karena tiadanya strategi khusus yang
dilakukan untuk mengingatnya seperti masa Orde Baru (misalnya dengan memutarkan
Film G30S/PKI). Atau tanggal ini dilupakan karena banyak masalah urgen yang
lebih membutuhkan tenaga dan perhatian. Padahal, peringatan akan hari ini tetap
perlu dilakukan, agar masa sekarang dapat diperbandingkan dengan masa lampau,
dan dengan demikian kita dapat merumuskan atau menata masa sekarang atau masa
depan dengan lebih baik, berdasarkan kesadaran sejarah tersebut.
Penghayatan dan makna antara 30 September 2007
jelas berbeda dengan 30 September yang dimaksudkan Orde Baru. Namun, di antara
perbedaan makna yang bisa dihayati pada tanggal ini, terdapat persamaan yang
tak dapat diabaikan: kedua-duanya secara dominan menggoreskan situasi yang
muram.
Pertama, bila kita ingin menghayati tanggal ini secara khusus,
sebagai peninggalan sejarah yang pernah dikeramatkan Orde Baru, maka kenangan
akan sejarah ini meninggalkan ingatan yang muram. Selama 32 tahun kekuasaannya,
tanggal ini dipakai secara ideologis oleh rezim Orde Baru, untuk mengingatkan masyarakat
akan jasa-jasanya sebagai pahlawan yang gilang gemilang menghancurkan musuh
utama bangsa yaitu PKI. Padahal kini kita tahu bahwa sejarah telah
dimanipulasikan demi melanggengkan kekuasaannya dan membantai lawan-lawan
politiknya. Jika ada yang membantah keinginan tuan maharaja Soeharto, maka keluarlah
kata-kata sakti :“Saudara PKI!” Sejak Orde Baru mengklaim bahwa G-30-S adalah
kejahatan PKI, sekitar 500.000 nyawa manusia telah dikorbankan, bahkan bagi
masyarakat yang tidak tahu menahu apa artinya menjadi PKI.. Padahal, banyak
sejarahwan yang menulis bahwa situasi pada saat itu sangat kacau dan tak
terkendali setelah usaha perebutan Irian Barat, sehingga tidak mudah menentukan
siapakah yang berada di balik peristiwa pembunuhan para Jenderal tersebut.
Sampai saat ini, kepastian akan pihak yang bertanggungjawab terhadap peristiwa
ini masih diperdebatkan. Setidaknya ada enam versi yang sekarang beredar. Pertama, Buku Putih yang dikeluarkan
oleh Sekneg. Menurut buku yang menjadi acuan dari pembelajaran sejarah di Indonesia
ini, dalang dari peristiwa G-30-S adalah PKI, dengan memperalat unsur ABRI. Kedua, setahun setelah peristiwa
berdarah tersebut, dua ilmuwan Cornell University, Ruth McVey dan Benedict R.
Anderson menulis kertas kerja “A
Preliminary Analysis of the October 1, 1965 Coup in Indonesia” yang
kemudian dikenal dengan Cornell Paper.
Menurut Kertas kerja ini, peristiwa G-30-S adalah puncak konflik intern di
tubuh TNI-AD. Di dalamnya, Soeharto terlibat. Kedua penulis tersebut kemudian dicekal masuk ke
Indonesia pada masa Orde Baru. Ketiga,
teori tentang keterlibatan dinas rahasia AS yaitu CIA dan pemerintah AS. Teori
ini didukung oleh Peter Dale Scott dan Geofrey Robinson. CIA yang ingin
menjatuhkan Soekarno dan kekuatan komunis, bekerjasama dengan sebuah klik
Angkatan Darat untuk memprovokasi PKI dan setelah itu menghancurkannya. Keempat, versi Antonie Dake dan John
Hughes. Menurut mereka, G-30-S adalah skenario yang dipersiapkan Soekarno,
untuk melenyapkan oposisi sebagian Perwira Tinggi AD. PKI ikut terseret, akibat
sangat tergantung pada Soekarno. Kelima,
versi yang menyatakan bahwa tidak ada pelaku tunggal dalam peristiwa ini.
Menurut versi ini, G-30-S adalah sebuah konspirasi, di mana unsur-unsur Nekolim
ingin menggagalkan jalannya revolusi, yang ditunjang oleh pimpinan PKI dan
oknum-oknum AD yang membelot. Versi ini diungkapkan dalam Nawaksara dan Pelengkap
Nawaksarara Soekarno, dan juga dalam buku Mania Sophian dan Oei Tjoe Tat. Keenam, versi yang ditulis pada tahun
1995 oleh sebuah tim dari Institut Studi Arus Informasi yang menulis tentang Bayang-Bayang
PKI. Mereka mengungkapkan bahwa yang mengadakan gerakan ini bukanlah PKI
sebagai sebuah partai, melainkan hanya gerakan dari segelintir pemimpinnya
seperti Syam dan Aidit, tanpa diketahui oleh mayoritas pendukung PKI [Bdk.
Henri Chambert-Loir dan Hasan Muarif Ambary (Ed.) Panggung Sejarah (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), hal.
574-576].
Dengan demikian, apa yang dituduhkan oleh Orde
Baru bahwa PKI adalah dalang satu-satunya G-30-S, sesungguhnya berciri
ideologis, untuk membenarkan pembantaian politiknya, sekaligus melenyapkan
lawan politiknya. Yang dipenjarakan dan dibantai bukan hanya karena mereka
pendukung PKI, melainkan terutama karena mereka tidak disukai rezim. PKI seringkali
hanyalah merupakan cap untuk melegitimasi pemenjaraan atau pembantaian
lawan-lawan politik Orde Baru. Dalam konteks ini benarlah bahwa sejarah
seringkali bukan ditentukan oleh ketepatan metodologis dan kesahihan ilmiah,
melainkan ditentukan oleh logika kekuasaan. Sejarah seringkali berciri
ideologis, untuk melegitimasi kekuasaan. Ideologi komunisme memang tidak pantas
dianut. Namun, ideologi Orde Baru yang membenarkan pembantaian besar-besaran terhadap
lawan politik tetap lebih buruk dari ideologi manapun.
Kedua, jika kita ingin menghayatinya secara
rutin dan banal, situasinya tak kalah muram. Tanggal 30 September di tahun ini
menyisakan beragam persoalan sosial yang bertumpuk dari kemarin dan menggunung
pada hari ini, dan mungkin akan terus bertambah di hari esok. Kita tak
henti-hentinya dirundung masalah. Setelah masalah kasik pendidikan yang
tercermin oleh rendahnya persentase kelulusan pelajar, kini kita serempak
dihadapkan oleh masalah-masalah klasik yang lain yaitu kelaparan dan kekerasan.
Busung lapar dan gizi buruk menjadi menu harian surat kabar dengan angka-angka
yang sedikit mengherankan, dan di sisi lain kekerasan mulai merebak perlahan
tapi pasti, bukan saja antara individu yang satu melawan individu yang lain,
melainkan juga antara kelompok yang satu melawan yang lain. Jika kekerasan
dikaitkan dengan kemiskinan, maka terdapat hubungan klasik yang rasional, di
mana dalam perut yang keroncongan, moral dan sikap yang lembut tak mungkin
dikejar.
Selanjutnya, jika situasi saat ini dan sejarah
masa lampau menggoreskan situasi yang muram, di manakah letak harapan? Harapannya
terletak pada kenyataan bahwa jika sejarah masa lampau tak dapat diubah dan meninggalkan kenangan yang tetap,
maka situasi saat ini bagaimanapun buramnya, adalah situasi yang dapat diubah, walaupun menuntut perjuangan. Asalkan kita terus menerus terbuka dan mampu
untuk belajar dari sejarah. Karenanya, di
tengah situasi dan sejarah yang muram ini, apa yang dapat kita pelajari?
Dalam psikologi modern dikenal prinsip bahwa
perilaku dan watak manusia saat ini, sedikit banyak ditentukan oleh apa yang
dialami pada masa lalu. Pengalaman (walau tidak absolut), menentukan sikap,
kepribadian dan watak. Yang dimuntahkan adalah apa yang dikunya. Begitu pula
dapat dikatakan dalam ranah politik. Reformasi masih seumur jagung. Perjalanan
sejarah bangsa sebagian besar dialami dalam kekuasaan Orde Baru. Dalam situasi
ini, mustahil menghilangkan berbagai bentuk praktik politik Orde Baru secara
serempak. Memang terdapat berbagai kesadaran dan perubahan sistem. Namun, entah
disadari atau secara spontan, ada praktik dan kejadian tertentu yang terulang. Dalam
konteks kita, ada beberapa kasus yang seakan merupakan pengulangan kesalahan
pada masa lalu. Bentuknya berbeda, tapi esensinya sama.
Pertama, yang nampak cukup menonjol adalah
pemanipulasian makna bahasa. Dalam Orde Baru, ada bahasa tertentu yang seakan
mulia dan keramat seperti “demi stabilitas, demi pembangunan, demi
kesejahteraan,” dan segudang kata yang lain. Namun, kata-kata seperti “demi
stabilitas” ternyata merupakan legitimasi untuk melenyapkan lawan-lawan politik
yang membangkang, atau yang dirasa mengancam. Pembantaian terhadap para
pendukung PKI hanya merupakan sebentuk contoh dari kekerasan struktural selama
32 tahun kekuasaannya, dengan mantra sakti: “demi stabilitas”. Begitu juga kata-kata
seperti “demi pembangunan” sebenarnya merupakan mantra untuk memuluskan
penggusuran dan pengusiran masyarakat
miskin yang dianggap menghalangi pembangunan, dalam hal ini pembangunan versi
penguasa. Kasus Kedung Ombo yang diperjuangkan oleh Romo Mangun misalnya,
merupakan salah satu contoh, bagaimana kata “demi pembangunan” menjadi mimpi
buruk dalam bentuk penyingkiran masyarakat yang miskin secara paksa. Rupanya
pembangunan yang dihayati hanyalah ungkapan semu dan sebentuk gaya bahasa yang
terkesan mulia, tetapi ternyata palsu adanya, karena mengorbankan subyek utama
pembangunan yaitu rakyat sendiri. Begitu pula utang yang menumpuk pada Bank
Dunia dibungkus dengan mantra sakti nan mulia: “demi kesejahteraan masyarakat”.
Padahal kita kini tahu, bukan kesejahteraan masyarakat yang diperjuangkan. Bahasa lalu menjadi sekedar permainan dan basa-basi
politik, sekadar formalitas belaka di ruangan hampa, dan kenyataan yang terjadi
sungguh berbeda dengan pemahaman konvensional. Singkatnya, bahasa yang
terdengar mulia dimanipulasikan sebagai topeng kekejaman.
Dalam konteks kita, kata-kata ini kembali muncul
dengan penghayatan yang sama. Secara singkat, kasus tambang Lembata misalnya,
diklaim “demi pembangunan”. Ketika pembangunan seperti ini ditolak oleh
masyarakat, terkesan ada usaha untuk memaksakan pembangunan tambang tersebut.
Timbul pertanyaan: bagi siapakah pembangunan dimaksud? Mungkin di dalamnya
terkandung maksud baik. Namun, maksud baik saja tidak cukup. Suatu maksud baik
yang tidak dibutuhkan sekonyong-konyong dapat berubah jadi masalah atau beban
yang mengganggu. Apalagi jika suatu maksud baik terkesan dipaksakan. Secara
spontan muncul kesan negatif dari suatu maksud baik yang dipaksakan. Karena itu
cukup beralasan kiranya jika pertambangan Lembata, walaupun dikatakan “demi
pembangunan” atau “demi kesejahteraan,” sesungguhnya tetap mencurigakan
masyarakat, dan karenanya pantas ditolak. Sesungguhnya penolakan ini sangatlah
rasional karena sejarah telah membuktikan bahwa kata-kata yang terdengar seakan
mulia, sering membawa akibat yang sangat berbeda dengan yang semula
dimaksudkan.
Kedua, pemonopolian dan pereduksian makna demokrasi. Demokrasi pada
masa Orde Baru adalah demokrasi seturut selera, dalam hal ini selera penguasa. Pada
praksisnya bukan demokrasi yang dilaksanakan, melainkan praktik totalitarianisme.
Totalitarianisme biasanya memonopoli segala-galanya termasuk pemonopolian
makna. Ia sepertinya tahu segala hal dan paham segala persoalan. Pada batas
tertentu hal ini sesungguhnya positif, karena semakin tinggi seseorang berada,
semakin luas dan menyeluruh pandangannya dapat diarahkan, dan tentunya semakin
banyak ia paham tentang berbagai masalah atau persoalan. Demikian jga halnya
seorang penguasa. Semakin tinggi kedudukannya, seharusnya makin luaslah wawasan
dan pemahamannya tentang situasi masyarakat.
Masalahnya timbul ketika demi program dan
rencananya sendiri, segala suara dan pandangan yang lain diabaikan. Padahal,
seturut semangat demokrasi, suara rakyat seakan-akan merupakan suara Tuhan (Vox populi vox Dei) yang mestinya
dilaksanakan dan diikuti. Jika suatu keputusan melawan kehendak masyarakat, maka
tidak ada suatupun kekuatan, kekayaan dan kekuasaan yang dapat melawan kehendak
rakyat tersebut.
Apa yang terjadi dalam
konteks kita adalah quasi demokrasi (demokrasi seolah-olah). Bahwa terdapat
sikap untuk mendengarkan rakyat, patut diakui. Namun, dalam praksisnya, suara
rakyat hanya berfungsi menyemarakan panggung sandiwara demokrasi, tanpa daya
dan kuasa. Apa yang disuarakan sering menguap di ruang hampa. Akibatnya, dalam
menghadapi suatu keputusan dan program pemerintah yang kotroversial (yang
sedang menjadi trend kita akhir-akhir ini), di satu sisi keputusan itu ditolak
rakyat, namun di sisi lain tetap saja dilanjutkan pemerintah. Makna demokrasi akhirnya
ditentukan seturut selera, dan pada tingkat tertentu direduksikan pada taraf
debat kusir semata, debat tanpa daya dan makna.
Ketiga, ketidakpedulian pemerintah pada masalah
kemanusiaan yang riil. Orde Baru hanya memperdulikan performance politik, tanpa memperhatikan masalah kemanusiaan yang nyata.
Seperti tercatat dalam sejarah, kisah politik Orde Baru penuh dengan
pelanggaran Hak Asasi Manusia. Pembantaian terhadap orang-orang yang dituduh
PKI sekali lagi dapat dijadikan salah satu contoh. Dalam bidang ekonomi pun, banyak
terdapat pengabaian terhadap masalah kemanusiaan. Masalah kemanusiaan yang
diperjuangkan hanyalah wacana dan konsep abstrak, dengan tujuan mendapatkan dana
dan dukungan dunia internasional. Tidak jarang kemiskinan masyarakat menjadi
proyek untuk ditawarkan pada Bank Dunia, padahal yang terjadi adalah bahwa dana
menetes ke bawah (kepada rakyat miskin) setitik demi setitik (trickle down), dan di sisi lain mengalir
deras ke atas pada saku-saku kaum kaya dan para elit (stream up effect). Tak peduli bahwa rakyat tetap melarat, bahkan
kemiskinan yang ada dijadikan alasan baru
agar proposal pada bank dunia bisa kembali diajukan.
Dalam konteks kita, kemiskinan memang menjadi
realitas tahunan. Namun, apakah sampai sedemikian parahnya situasi ini,
sehingga ribuan bayi mengalami kekurangan gizi, bahkan ada yang meninggal?
Lebih parahnya lagi, banyak kasus busung lapar terjadi pada tempat yang sama. Dalam
konteks NTT, alasan bahwa kemiskinan adalah sebab dari kemalasan, tak dapat
dibuktikan secara meyakinkan dalam kenyataan sehari-hari. Banyak petani yang tetap
miskin walaupun telah bekerja dengan sangat keras. Secara sedikit sarkatis
dapat dikatakan bahwa sekurang-kurangnya terdapat dua alasan mengapa kasus
busung lapar terjadi secara terus menerus pada tempat yang sama. Atau
kemiskinan dan kasus busung lapar bagi mereka sebagai sebentuk kodrat (akibat
determinasi alam yang tak ramah), ataukah mereka memang tidak diperhatikan dan
diberdayakan. Sayangnya, selain faktor alam, terdapat kesan bahwa tidak adanya
program atau indikasi keseriusan pemberdayaan masyarakat miskin. Dengan kata
lain, mereka kurang diperhatikan.
Di samping
itu, kasus kekerasan yang terjadi di Lotas, misalnya, oleh banyak pihak diklaim
sebagai sebentuk ketidakpedulian pemerintah Propinsi. Terlalu banyak pekerjaan
dan dan persoalan lain yang menumpuk? Hasilnya, entah untuk menyalurkan naluri
premanismenya, atau karena tidak mempercayai kemampuan dan kesungguhan
pemerintah, warga yang bertikai menggunakan sendiri caranya, dan cara itu
sekali lagi bernama kekerasan. Demikian pula halnya korupsi yang tetap
merajalela. Disidangkan satu, ganti tumbuh seperti jamur. Patah satu tumbuh
sepuluh. Atau berbagai bentuk penyelewengan lain, yang entah diberitakan, atau
tinggal tetap sebagai rahasia umum,
dapat dilihat sebagai bentuk ketidakpedulian yang cukup serius.
Tentu saja kita tidak bisa
secara apriori mengklaim bahwa apa yang terjadi saat ini adalah sisa-sisa
praktik Orde Baru. Tentu saja Orde Baru dan segala kesalahannya sama-sama kita
kecam. Namun, apa yang secara teoritis berusaha dihindari, tidak jarang
dilaksanakan pada praksisnya, sering tanpa disadari. Karena itu, yang
diperlukan dari pemerintah adalah keterbukaan untuk mendengarkan suara rakyat,
dan dari masyarakat diperlukan sikap kritis. Demokrasi selalu mengandaikan
sikap kritis rakyatnya. Dengan keterbukaan dan sikap kritis, kita dapat belajar
dari sejarah, sehingga sejarah yang muram bukanlah alasan untuk ditiru,
melainkan menjadi sebentuk pengalaman yang inspiratif dan mendidik, demi
masyarakat yang adil dan sejaktera. Sejarah yang muram seyogyanya menjadikan
kita waspada terhadap berbagai bentuk dan varian pengulangannya. Bukankah terdapat
kebijaksanaan klasik bahwa pengalaman (demikian pula sejarah) adalah guru yang
terbaik? Jika kita terus menerus belajar dari sejarah, akan berlakulah prinsip:
dari dosa kita bisa dewasa.
Comments
Post a Comment