ENAK DIBACA DAN PERLU (Mempertimbangkan Urgensitas Jurnalisme Sastra)
Oleh: Silvester Ule
Hari pers kita peringati setiap tanggal 9 Februari.
Dalam rentang panjang
perjalanan sejarahnya, pers telah memainkan beragam peran dan menghadirkan
beragam makna. Sejak manusia memakai tulisan pada tahun 350 SM di wilayah
Sumeria (5 abad kemudian di Mesir dan India, dan 15 abad kemudian di China),
dunia tulisan sebagai pemberi dan pemelihara informasi telah berkembang dengan
cepat, dengan berbagai varian dan perannya. Pers (dalam bentuk majalah dan
surat kabar) adalah varian perkembangan tulisan yang memiliki makna dan
kekuatannya sendiri dalam mempengaruhi berbagai aspek kemanusiaan. Adapun
gagasan pelayanan publik tertanam secara mendalam dalam ajaran dan praktek
jurnalistik. Demikian pula gagasan bahwa pers merupakan salah satu sarana
hiburan. Selain itu kesadaran bahwa pers juga merupakan sarana transformasi
sosial, dan sebagai sebentuk kekuatan tanpa pemerintahan (governance without government), semacam kekuatan keempat dalam trias politica yang sangat berpengaruh
pada pelbagai bidang kehidupan, semakin menegaskan pentingnya peranan pers
dalam perkembangan peradaban dan kebudayaan manusia.
Di tengah pluralitas
media informasi, juga di tengah derasnya lalu lintas berita dan peristiwa, kita
perlu sejenak mengambil jarak, untuk kembali melihat saluran berita di
mana berbagai peristiwa hadir di hadapan kita. Dalam konteks NTT,
saluran berita paling utama yang menampilkan berbagai peristiwa lokal adalah
surat kabar. Karenanya, refleksi tentang pers dalam konteks kita tidak dapat
dilepaskan dari refleksi tentang dunia persuratkabaran.
Patut diakui, terdapat kemajuan signifikan dalam dunia
persuratkabaran kita. Dari aspek kuantitas, perkembangan itu nampak dalam hadirnya
berbagai surat kabar “warna-warni” yang meramaikan dunia pemberitaan lokal. Menjamurnya
pertumbuhan dan penambahan jumlah surat kabar “warna-warni” dengan berbagai
idealismenya, dengan sendirinya meningkatkan dorongan yang sehat pada
perkembangan berbagai media lokal dari aspek kualitas. Perkembangan kualitatif ini
misalnya nampak dalam berbagai usaha serius dari surat kabar lokal yang sedikit
mapan, yang sejauh ini terlihat terus membaharui diri, dengan memperbaiki wajah
dan mutu pemberitaan.
Namun, walaupun terdapat berbagai usaha serius
dari persuratkabaran lokal (Pos Kupang
misalnya) untuk memperbaiki wajah dan kualitas pemberitaan, namun masih nampak
secara kental gaya pemberitaan konvensional (straight news), yang memberitakan suatu peristiwa dalam formulasi
klasik 5W+1H secara baku, ketat dan kaku, yang semakin lama dapat semakin
membosankan (kecuali satu dua feature
yang sesekali muncul). Walaupun tentu saja formulasi ini adalah hal lumrah
bahkan dalam berbagai surat kabar nasional yang lebih mapan, namun idealisme
tentang gaya pemberitaan yang lebih baik perlu dikedepankan dalam rangka
perbaikan mutu surat kabar lokal. Ada dua kerugian mendasar dalam gaya
pemberitaan straight news.
Pertama, karena gaya pemberitaanya yang kaku,
maka unsur hiburan terasa minim. Dengan demikian, surat kabar bisa mudah
ditinggalkan atau hanya dilihat secara sekilas, kecuali pada kalangan terbatas
yang tidak terganggu terhadap hal-hal yang serius dan kaku seperti itu. Pada
saat ini, terdapat media-media lain yang menjadi saingan surat kabar, seperti
televisi dan radio, yang mengemas banyak berita dan acara secara menarik.
Pemberitaan dengan gaya klasik straight news mungkin pada waktu dekat
tak terlalu berpengaruh terhadap keberadaan surat kabar karena belum adanya TV
lokal yang menyiarkan berita-berita lokal. Namun, dalam dunia yang sedang
berkembang cepat, siapa dapat menjamin bahwa gaya pemberitaan straight news tidak akan menimbulkan
kesulitan pada surat kabar itu sendiri pada masa mendatang?
Kedua, berkaitan dengan hal mendasar dari dunia
jurnalistik yaitu melayani masyarakat dengan memberikan informasi vital tentang
suatu peristiwa. Kompleksitas suatu peristiwa tidak dapat ditangkap secara utuh
dalam tata cara reportase klasik yang hanya mencatat fakta-fakta dan memuatnya
sebagai headlines. Banyak yang hilang:
emosi, latar belakang kemanusiaan para pelakon suatu peristiwa, latar belakang
fisik, situasi yang sedang berlangsung, percakapan-percakapan penting yang
dapat mengungkap banyak hal yang tidak dapat terungkapkan hanya dengan
pembeberan fakta, dll. Karena itu, reportase klasik secara tidak langsung
mengabaikan banyak informasi penting dalam suatu kisah atau peristiwa. Secara analog
dan puitis Bertold Brecht menulis: Dalam
buku-buku cuma tercatat nama raja-raja. Apakah mereka mengangkat batu? Pada
tiap halaman tercatat sebuah kemenangan. Siapakah yang masak untuk pesta kemenangan?
Begitu banyak laporan, begitu banyak pertanyaan. [Berthold Damhauser dan
Ramadhan K.H. (Pert.), Kau Datang Padaku,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1994) hal. 63]. Laporan
yang hanya membeberkan peristiwa apa adanya meninggalkan banyak kekurangan dan
ketidaklengkapan. “Begitu banyak laporan, begitu banyak pertanyaan”.
Sebagai reaksi terhadap kedua kekurangan mendasar
dalam teknik reportase konvensional (straight
news), munculah sebuah genre baru
dalam dunia jurnalistik yaitu apa yang kita kenal saat ini sebagai jurnalisme
sastra. Jurnalisme dan sastra bukanlah saudara kembar. Memang terdapat
kesamaan, karena keduanya mengungkapkan realitas. Namun cara pengungkapannya
berbeda. Jurnalisme mengungkapkan pertistiwa secara eksplisit, denotatif dan
apa adanya, sesuai dengan fakta-fakta yang nampak. Tak ada unsur fiksi di sana.
Di sisi lain, sastra mengungkapkan realitas secara implisit, dalam lambang-lambang
dan simbol konotatif, dengan tokoh-tokoh dan alur imajiner, dalam gabungan yang
kompleks antara fakta, imajinasi, emosi, fantasi, dll. Sastra adalah sebuah
karya seni yang fiktif. Karena keduanya tidak identik, maka seorang sastrawan
memunculkan ungkapan dalam kaitan dengan pembredelan beberapa media jurnalistik,
yang secara implisit mengungkapkan perbedaan antara jurnalisme dan sastra:
“ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara”. Sastra dan jurnalisme
adalah “dua jenis makhluk yang dulunya saling delik dan saling cerca”, demikian
kata Mahbub Djunaedi.
Selanjutnya, sejak
digunakan oleh Tom Wolfe pada tahun 1960-an, kata literary journalism mulai dikenal. Dalam bahasa Indonesia
diterjemahkan sebagai jurnalisme sastra.
Jurnalisme sastra adalah perpaduan
antara unsur-unsur seni dalam dunia sastra dan laporan dalam dunia jurnalistik.
Persyaratan jurnalistik seperti fakta, obyektifitas dan akurasi data tetap
dikedepankan. Namun, semuanya itu dikemas dalam uraian yang renyah, ringan,
menarik, dengan adegan-adegan dan dialog yang dikumpulkan secara cermat dan
seksama, dalam gaya pemaparan yang melibatkan emosi dan imajinasi. Jadi,
pembaca bukan hanya disuguhi berita bahwa “Robert meninggal”, melainkan segenap
suasana dan situasi emosional, lakon peristiwa dan dialog seputar kematiannya. Reporter
bukanlah semata-mata pelapor berita, namun sekaligus seorang seniman yang
melaporkan berita dengan kemampuan kebahasaaan yang tinggi.
Kekuatan jurnalisme sastra bukan hanya terletak
pada konsep-konsep, gagasan dan peristiwa, melainkan terutama pada cara
memberikan penjelasan yang tidak biasa. Karena itu, dihindari ekspresi-ekspresi
dan pengungkapan peristiwa yang tanpa ilustrasi, tanpa narasi dan tanpa
penjelasan. Untuk memperoleh berita yang kaya dan dengan ekspresi yang hidup,
seseorang bukan hanya mengumpulkan berita, tetapi dalam arti tertentu
mengadakan sebuah riset, walaupun bukan dalam artinya yang ketat seperti dalam
dunia akademis. Singkatnya, jurnalisme sastra adalah gabungan dari akurasi
penyampaian berita, keterlibatan reporter dalam sebuah peristiwa sehingga
menghasilkan karya yang menggugah emosi pembaca, struktur yang mirip tulisan
fiksi pada dunia sastra untuk menggelar suasana (sehingga dapat memberikan
pengaruh yang kuat pada pembaca), tanggung jawab untuk memaparkan fakta
walaupun dengan gaya sastra, juga terkadang aspek simbolisme, di mana reporter
memaparkan fakta yang kelihatan remeh, tetapi disusun sedemikian rupa sehingga
memiliki keterkaitan dengan dunia yang lebih luas dan pemaknaan yang lebih
mendalam. Gaya yang sederhana, memikat dan menyenangkan sangatlah dibutuhkan,
agar pembaca tidak hanya melihat, melainkan juga seakan-akan merasakan suatu
peristiwa.
Dalam jurnalisme sastra, yang diperhatikan secara
lebih mendalam adalah berita-berita kemanusiaan, yang walaupun kecil, tetapi
dapat menjadi cerminan masalah kemasyarakatan yang besar. Memang pada dasarnya
terdapat peristiwa istimewa yang dalam dirinya sendiri mengandung nilai berita
spektakuler. Namun, kisah itu disentuh dengan menangkap perasaan dan pengalaman
sebagaimana layaknya orang biasa di balik kementerengan tokoh-tokoh di balik
suatu peristiwa. Dalam pandangan para pencetus literary journalism, kebenaran ada pada detail-detail kecil
kehidupan yang riil. Reporter menggali suara masyarakat sealamiah mungkin, mengungkap
sosok-sosoknya, sampai pada kata-kata dan dialognya. Kedalaman dan personalitas
sumber-sumber berita merupakan hal sentral dalam jurnalisme sastra. Dengan
demikian, jurnalisme sastra dapat menghindarkan cara pemberitaan sensasional
yang membombardir privasi tokoh-tokoh tertentu, dan menggantikannya dengan masalah-masalah
kemanusiaan di balik peristiwa dan tokoh-tokoh besar atau kecil. Pada
gilirannya, selain sebagai pemberi informasi yang dapat dipercaya, kedalaman
analisis dan penyajiannya dapat menjadi sarana hiburan dan menghadirkan ciri
edukatif.
Di Indonesia, jurnalisme sastra nampak, misalnya
pada majalah Tempo. Kolom “Catatan Pinggir” adalah contoh pengamatan yang
cermat terhadap lautan ide dan peristiwa selama sepekan, yang ditulis dalam
gaya puitis dengan simbolisme yang kental. Keseluruhan majalah Tempo
menghadirkan suatu corak berita yang unik dan menarik, sesuai dengan
semboyannya: “enak dibaca dan perlu”. Majalah ini masuk dalam berbagai bidang
kehidupan dengan tampilannya yang serius tetapi sederhana dan memikat, yang juga
merupakan implementasi dari mottonya yang lain: “Rubrik nasional tapi bukan
politik, ekonomi tetapi bukan statistik, ilmu tapi bukan tekhnologi, agama tapi
bukan kotbah, kesehatan tetapi bukan kedokteran”. Dalam harian lokal, jurnalisme sastra dapat
dilihat pada penulisan feature, yang
menampilkan human interest dengan
gaya yang ringan dan mendalam. Namun, penulisan feature masih belum diadakan secara rutin dan komprehensif. Tentu
saja idealnya, unsur jurnalisme sastra dapat dihadirkan pada berbagai obyek pemberitaan
dalam surat kabar lokal, baik dalam pemberitaan dan pembahasan masalah politik,
ekonomi, budaya, kriminalitas, dll.
Jurnalisme sastra seyogyanya semakin dihidupkan, terlebih
dalam situasi saat ini yang ditandai dengan bombardir acara televisi dan
iklan-iklannya. Televisi memang memberikan banyak hal menarik, karena
menggabungkan dan mengaktifkan unsur pendengaran dan penglihatan sekaligus.
Namun, yang tidak mampu ditawarkan oleh Televisi adalah aspek kedalaman dari
suatu berita atau gagasan. Kedalaman ini hanya dapat ditawarkan media cetak, termasuk
surat kabar, karena media cetak dapat dibaca secara individual dan tenang,
sehingga menyisakan ruang bagi sebuah refleksi. Namun, kedalaman sebuah ulasan
peristiwa dan unsur hiburan yang menyertainya tak dapat disediakannya bila
media cetak masih dalam pola pemberitaan konvensional. Jurnalisme konvensional
tidak memadai. Sekarang kita harus perlahan-lahan beralih pada jurnalisme
sastra.
Namun, jurnalisme sastra sendiri menghadirkan
sederetan syarat yang kompleks. Penulisan jurnalisme sastra selain membutuhkan
keterampilan dalam tekhnik menulis laporan jurnalistik, juga mengandaikan
penguasaan kosakata dan kemampuan kebahasaan yang cukup sempurna. Kemampuan
melakukan wawancara yang cermat, luas, intensif dan obyektif serta kesungguhan
dan keterlibatan penuh dalam suatu peristiwa juga menjadi prasyarat penting
dalam proses penulisan literary journalism. Karena merupakan
gabungan unsur jurnalistik dan sastra, maka dalam jurnalisme sastra,
kewartawanan dan kepenyairan seakan dilebur dalam satu kesatuan. Reporter
adalah seorang wartawan sekaligus seorang sastrawan atau penyair. Kemampuan
wartawan terletak pada kualitas informasi hasil liputannya. Laporan wartawan
menyebabkan pembaca mengetahui lebih banyak mengenai berbagai peristiwa yang
terjadi dalam masyarakat. Kemampuan sebagai penyair terungkap dalam bahasa yang
menukik ke dalam realitas, jujur, tulus, bahasa yang menggambarkan suatu
peristiwa sedemikian rupa sehingga terasa berdenyut dan hidup. Hal ini tentu
membutuhkan waktu dan energi, juga kompetensi pribadi wartawan yang memadai, dan
ini bukanlah hal mudah dalam dunia persuratkabaran yang senantiasa diburu deadline.
Saat ini mungkin berat, dan masih merupakan
sebentuk idealisme. Namun, setiap idealisme selalu memiliki kemungkinan
terealisasi. Adalah sebuah harapan bahwa suatu saat, koran-koran lokal
menghasilkan gaya tulisan yang, menarik dan menghibur, dengan kedalaman sajian
dan unsur edukatif yang memadai. “Enak dibaca dan perlu”, demikian motto
majalah Tempo, yang dapat diterapkan pada koran-koran lokal sebagai prinsip
menuju jurnalisme sastra.
Comments
Post a Comment