Duc In Altum…
Pak Jokowi,
Entahkah Piala
Dunia lebih atraktif dari kontestasi politik dengan suhu yang kian panas
menjelang 9 Juli? Saya tak bisa memastikannya. Namun satu hal yang pasti: surat
yang saya layangkan ini tidak dalam rangka meramaikan momen politik lima
tahunan ini. Bukan karena tidak penting. Apalagi sok berlagak apatis. Tetapi riuh rendah bahkan gelora politik sudah sampai
pada taraf kita kesulitan bernafas secara elegan dan berpikir jernih. Ruang
publik sudah sedemikian sesak dengan muatan politis yang membabi-buta.
Sampai-sampai diri diprofilasi secara serampangan karena telah dipoles dengan
intrik, black campaign bahkan
mengarah pada pembunuhan karakter.
Apa yang saya tulis
adalah antitesis dari diri yang sengaja dipahami secara miring dan kebajikan
yang telah ditutupi syak-wasyangka yang bertopengkan kepura-puraan. Menapak undur dan bergerak melampaui (passing over) hajatan politik ini niscaya lebih berfaedah daripada sekadar larut
dalam arena permainan sesaat untuk sekadar berebut posisi dan jatah kursi.
Pak Jokowi,
Dengan tanpa
bermaksud menggurui, Indonesia ibarat lautan nan luas. Memahami setiap sudut
dan menangkap tiap-tiap jengkal persoalan bukan perkara mudah. Tidak dapat
direpresentasi bagian per bagian meski sama di bawah satu bendera dan negara.
Sama halnya, memahami keutuhan sebuah lautan tidak hanya pada debur ombak atau
pasir putih belaka, demikianpun menyebut rakyat sebagai sejahtera dan daerah
sebagai bermasalah hanya dengan menatap pada satu sisi semata. Apalagi hanya atas
dasar angka dan laporan. Bukan saya tidak percaya pada angka dan tidak menaruh
hormat terhadap kata-kata yang dirangkai
dalam berlembar-lembar halaman yang diajukan.Tetapi saya perlu bersikap skeptis
dengan angka yang kerap direkayasa dan laporan yang kadang disusupi muatan Asal
Bapak Senang. Akhirnya, sang pemimpin dimanja bergaya duduk manis di menara
gading kekuasaan.
Pada titik ini,
filosofi hidup dan kepemimpinan yang bapak jalani relevan untuk konteks
Indonesia dengan segala keanekaragamannya. Bapak telah mengayun sampan untuk
berkeliling bahkan tak segan turun menyelam ke dasar kehidupan masyarakat
sekalipun hanya dalam sebuah lingkup perairan kecil bernama Solo, pun yang
sedikit lebih luas, Jakarta.
Pak Jokowi,
Saya
membayangkan jika setiap pemimpin yang “turun ke bawah” bisa menggapai titik
dimana persoalan riil mengemuka dan profilasi keterbelakangan paling kasat
mata. Ya, kampung.
Di sana
kita menjumpai wajah asli hasil pembangunan. Kampung adalah locus bagi “orang-orang kecil” yang
ditepikan dari hingar-bingar pembangunan. Ia adalah hunian mayoritas
“orang-orang kalah” yang didera prahara sosial, ekonomi, budaya dan pendidikan.
Di tempat itu, kita menemui kaum marginal yang tidak sanggup memenangkan hidup.
Merekalah rakyat kecil, rakyat papa yang saban hari berteriak karena gagal
panen, terpapar akibat fluktuasi harga komoditi, menjerit tersebab busung
lapar, serta merana akibat kekurangan akses informasi, sarana pendidikan dan
moda transportasi. Di sana pula kita menyaksikan geliat hidup tak menentu para
penganggur yang dalam keputusasaannya hijrah ke negeri tetangga. Itulah tempat,
kaum marhaen-meminjam istilah Soekarno,
menambatkan hidupnya. Singkat kata, kampung adalah profilasi keterbelakangan, keterpencilan dan
marginalitas yang kasat mata.
Pak Jokowi,
Tentu
saja, gambaran kampung demikian tidak hanya menjadi tolak ukur untuk menilai
tingkat pembangunan suatu daerah, tetapi juga merupakan titik berangkat
pembangunan ke depan. Kini fokus pembangunan semestinya tidak lagi mengambil
bentuk subordinasi “top down” karena sudah terbukti rembesan pembangunan yang
sampai ke akar rumput tidak seberapa. Model ordinasi “pusat-daerah” lebih
memposisikan masyarakat kecil sebagai klien yang pasif dan “janin” yang
bergantung hidup semata-mata pada asupan ransum lewat “plasenta” birokrasi dari
tingkat atas. Masyarakat sekedar penadah
belaka. Mereka hanya dilatih kesabarannya untuk menunggu meski kadang jatah “kue” pembangunan mudah saja ditilep
dalam perjalanan distribusi ke daerah-daerah.
Demikianpun
locus pembangunan sejatinya tidak
lagi sentralistik di ibu kota. Yang perlu dikembangkan sekarang adalah
kampung-kampung. Alasannya, di sana bercokol labirin persoalan yang mencekik
rakyat miskin dengan serba ketiadaan fasilitas dan sarana vital kehidupan. Apa
artinya segala kemegahan ibu kota, jika kondisi kampung-kampungnya sungguh
memprihatinkan? Patutkah kita membanggakan segala kemajuan metropolitan di atas
jeritan rakyat miskin di sudut-sudut sepi? Derap pembangunan yang membawa kota
melangkah maju sambil meninggalkan kampung jauh terbelakang, tidak lebih dari
sebuah perjalanan elitis dan ketiadaan orientasi sejati karena ke
kampung-kampunglah sasaran bidikan pembangunan seharusnya lebih diarahkan dan
dari sanalah pembangunan itu semestinya bermula. Kampung, sekaligus titik
berangkat (point of departure) dan
titik tuju (point of arrival)
pembangunan yang hakiki.
Pak Jokowi,
Tiada jalan lain
untuk menemukan rahasia lautan Indonesia maha luas, selain bergerak ke area yang
(lebih) dalam. Jika tidak melalui raga-jiwamu yang akan lebih bayak
terperangkap di ibu kota, paling tidak memastikan perpanjangan tanganmu nanti bisa
sampai menjangkau kampung-kampung kami.
Pak Jokowi,
Duc in altum, bertolaklah ke tempat yang
(lebih) dalam. Berlayarlah sampai jauh….
Salam Dari Kampung
Surat ini diikutsertakan juga dalam ajang lomba menulis surat untuk JOKOWI....
ReplyDelete