Bencana, Abigram Iluminati dan Mukjizat
Oleh
Servinus Nahak*
Bencana dan jelangkung
Robert Langdon, simbolog Harvard tersohor dalam Malaikat dan
Iblis (Angels and Demons)-nya Dan Brown itu andaikan benar-benar
hidup? Datang dan menyaksikan bencana yang terjadi di seantero Indonesia
sepanjang tahun ini dan deretan bencana di NTT beberapa bulan terakhir, maka
inilah kesempatan kedua batok kepalanya terlalu banyak dipenuhi dengan
kejutan-kejutan hebat dan menyesakkan dada.
Untuk Langdon, melihat ambigram
yang bertuliskan nama kelompok persaudaraan iluminati mungkin bukan masalah
besar. Tetapi melihatnya tercap di dada lima lelaki yang terbunuh pada hari
yang sama? Langdon mestinya datang dan menyaksikan dengan mata kepala sendiri
bahwa ambigram itu sungguh tercap bukan hanya di dada tetapi di sekujur tubuh
bangsa ini dari ujung ke ujung.
Ketika teka-teki yang membawa bencana itu dimulai Robert
Langdon terpaku dan tak dapat berbuat banyak menyaksikan mayat jasad di
depannya. Di sebelahnya berdiri seorang perempuan asing yang kemudian
dikenalnya sebagai “anak” Leonardo Vetra, Pastor tua, ahli fisika yang sekarang
terbaring tak bernyawa dengan dua biji mata tercungkil benda keras. Proyek
rahasia Leonardo Vetra dan Vittoria Vetra anak perempuannya hampir rampung.
Herannya, ada pihak luar yang mengetahui proyek religius ini. Antimateri,
adalah representasi teori big bang (ledakan besar) usaha seorang imam
Tuhan untuk mendamaikan iptek dan teologi yang belakangan kedodoran.
Antimateri, bom waktu rancanangan Pastor Vetra telah dicuri dan seketika
menjadi teror bagi Vatikan, kota seribu patung itu.
Perburuan
antimateri kemudian melibatkan Langdon dalam zig-zag persoalan dan misteri
patung-patung buatan Bernini dalam teka-teki simetris yang menakjubkan. Ketika
itu, Langdon mesti terbang tinggi di atas Roma bak burung elang agar matanya
dapat menangkap kota itu seperti peta datar supaya dapat menyibakkan tabir
perkumpulan kuno, iluminati yang lama terlupakan itu. Sebagai seorang simbolog
kenamaan, upaya memecahkan pertanyaan besar tentang iluminati adalah perjalanan
sial yang terpaksa dilaluinya dengan senang. “Kesempatan yang tidak akan datang
dua kali,” satu hal yang baru diakuinya ketika keterlibatannya sudah terlanjur
jauh. Kendati beda tipis antara hidup dan mati hanya seperti air dalam bejana
kaca, Langdon tetap maju.
Tidak ada jalan mundur. Petualangan
yang melibatkannya kali ini adalah sebuah permainan jalangkung, “datang tak
diundang pulang tak diantar”. Bencana, memang sesungguhnya “si kejut” yang
datang dengan maunya sendiri. Namun, bencana kita belakangan sering mampir
sebagai jelangkungan tengah malam yang dengan tau dan mau kita “undang” mampir
di tengah kita. Paling tidak ada benarnya ketika tesis ini dipahami secara
global sebagai bagian dari “kemarahan” alam. Disharmonisasi global tidak
tanggung-tanggung datang sebagai bencana yang mengancam.
Ambigram bencana
“Tanah”, “api”, “udara” dan “air”
sudah tercap dengan luka bakar yang mengerikan pada tubuh empat korban hasil
buruan iluminati berikutnya setelah Leonardo Vetra. Iluminati kini benar-benar
datang sebagai ancaman maut yang tidak tanggung-tanggung mengambil nyawa.
Sialnya, Langdon selalu kalah cepat dari sang pembunuh berdarah dingin itu.
Dan, tinggal sesaat lagi antimateri membumihanguskan Vatikan. Proses pemilihan
Paus kali ini akan menjadi satu episode paling kacau dalam sejarah. Misi
Langdon yang terakhir ini sekali lagi adalah sebuah mukjizat ciptaan Brown yang
benar-benar menggelikan. Langdon selamat dari ancaman ledakan antimateri di
ketinggian ribuan kaki yang melemparkannya ke tengah lautan. Langdon masih
hidup? Angels and Demons memberikan jawaban yang sangat meyakinkan. Ya!
Earth, fire, air,
water. Empat anasir alam yang pernah disinggung Empedocles, filsuf
Yunani itu kini muncul sebagai ambigram sempurna yang membelalakan mata
Langdon, ancaman serius yang tak terlupakan seumur hidupnya. Secara teoretis,
anasir-anasir alam ini lahir dari refleksi filosofis seorang Empedocles atas kenyataan bahwa alam, manusia
dan tubuhnya tersusun dari empat anasir (sifat) dasar ini.
Tsunami, gempa bumi dan Lumpur panas, kebakaran hutan dan
polusi udara yang ditimbulkannya datang sebagai “ambigram” yang sedang
mengancam kita. Cerita panjang bencana di tanah air masih berlanjut terus dari
hari ke hari. Yang terakhir, kabut asap benar-benar menjadi “komoditi ekspor
non migas” yang membangkitkan amarah negara-negara tetangga. Pertanyaanya yang
paling sulit dijawab tentunya adalah mengapa kebakaran di hutan-hutan Indonesia
selalu rutin tiap tahunnya?
Kini semua unsur itu seakan mengamuk. Tanah, air, api dan
udara. Lupur panas sejak enam bulan lalu belum tuntas ditangani. Upaya
menanganinya diikuti rasa harap-harap cemas sebab betapapun akhirnya usaha ini
selesai masalah ikutannya menjadi konsekuensi yang tak dapat dihindari.
Pemerintah mau tidak mau mesti serius memperhatikan para korban bencana yang
paling banyak adalah masyarakat miskin di sekitar hunian Porong-Sidoarjo. Earth,
tanah benar-benar sudah tidak bersahabat lagi dengan manusia. Kini ia datang
sebagai ancaman yang sangat menakutkan.
Musim hujan sudah dekat (masih kita tunggu-tunggu). Banjir,
langganan tiap tahun itu ada sebagai ancaman yang bakal menelan korban sekian
banyak. Amukan “si air”, water telah benar-benar menjadi trauma yang tak
terlupakan oleh segenap anak bangsa. Tsunami Aceh telah mendatangkan beban
teramat berat yang hampir tak terpikulkan di tengah kemelut bangsa yang tak
menentu. Apapun yang terjadi, tsunami Aceh adalah bencana kemanusiaan yang
terhebat sepanjang sejarah.
Kebakaran hutan yang terjadi belakangan benar-benar
menimbulkan amarah negara-negara tetangga. Hutan-hutan kita yang dapat
diandalkan sebagai paru-paru dunia justru tak pernah absen dari lalapan si jago
merah setiap tahunnya. Kabut asap yang menutupi beberapa wilayah di
Indonesia menjadi ancaman serius bagi
transportasi darat, laut maupun udara.
Dari dulu sampai sekarang, fire, api, kecil adalah kawan dan besar
menjadi lawan. Satu lagi yang masih dapat diharapkan. Air, udara. Nmaun,
apa yang sesungguhnya terjadi justru di luar kemauan kita.
Untuk kalangan NTT, rawan pangan lantaran kekeringan
berkepanjangan berikut akibat-akibat yang ditimbulkannya telah ditunjukkan
dengan angka-angka yang mengkhawatirkan di halaman depan koran-koran daerah.
Harian ini mencatat data-data yang cukup mencengangkan beberpa hari terakhir. PK,
Selasa, 7/11/ 2006 melansir, sebanyak 432 KK makan ubi hutan di
Manggarai dan Sikka. PK Kamis, 9/11/2006, sedikitnya 6.094 ha
sawah di Mbay kering. Jumat, 10/11/2006, disinyalir warga Alor mulai kesulitan
pangan. Beberapa kali PK menurunkan berita seputar warga yang mabuk
lantaran mengkonsumsi onde (yang diduga kuat tidak diolah degan baik).
Di Sikka, Wabup, Ansel Rera turun ke lapangan untuk melihat dengan mata kepala
sendiri rawan pangan yang terjadi di tengah masyarakatnya.
Dari
ujung ke ujung bencana kekeringan menimbulkan rawan pangan yang tak
terhindarkan. Keadaan yang sama terjadi di sebagian wilayah Belu, TTU, TTS,
Sumba dan yang terakhir Lembata. Tiap-tiap daerah dengan bencana musiman yang
akan terus terulang kalau tidak ditangani serius. Longsor di sepanjang jalur
trans Flores adalah catatan duka bagi orang Manggarai dan NTT pada umumnya yang
harap-harap tidak terulang lagi. Belu selatan dengan ancaman luapan banjir
kiriman di kali Benenain. Baru-baru ini angin kencang menghantam Sumba Barat
memakan satu korban dan merobohkan 87 bangunan (PK, Selasa, 14/11/2006).
Lengkap
sudah. “Tanah”, “api”, “udara” dan “air” empat anasir bencana yang sedang
mengancam wilayah-wilayah kita. Di tengah ancaman bencana ini, kebutuhan akan
dana bencana alam menjadi satu hal yang tak dapat ditawar-tawar. Dana
penanggulangan bencana mesti disiapkan agar nantinya kita tidak kalang kabut
ketika bencana datang lagi bertubi-tubi. NTT, di tengah krisis seperti ini malah
berhadapan dengan 85,6 miliar rupiah lebih dana penanggulangan bencana yang
masih “mengendap” di pusat (PK, Sabtu,11/11/2006).
Usaha
mencairkannya sedikit banyak merupakan benturan yang tidak main-main juga. Apa
boleh buat, tiap daerah di Indonesia tercinta ini juga sedang diancam
bencana-bencana yang butuh penanggulangan serius. Kalau ternyata dana-dana
penanggulangan bencana untuk NTT yang merupakan akumulasi dana penanggulangan
bencana (2004-2005) itu untuk sementara tidak direalisasikan apa yang dapat
kita lakukan?
Mukjizat Brown?
Kita sedang membutuhkan sebuah
mukjizat besar untuk “menjawab semua impian”. Apa yang sesungguhnya dilakukan
seorang jagoan sekaliber Robert Langdon lebih tepat kalau disebut sebagai serba
“kebetulan” bikinan sang “pencipta”, Dan
–Si coklat– Brown, penulis keseohor yang tenar lewat novel
kontroversialnya The da Vinci Code itu. Apa yang dibuatnya nyata-nyata
telah menyelamatkan Langdon si tokoh utama dari banyak kesempatan yang mestinya
telah menamatkan riwayatnya. Dengan cara seperti ini, mukjizat Brown adalah
satu-stunya jalan ketika segala rahasia dapat dibongkar untuk menentukan siapa
malaikat dan siapa iblis yang mesti dilemparkan ke neraka.
Mukjizat dapat terjadi dan
kemungkinan untuk itu ada di tangan para petinggi dan jajaran pemerintahan
kita. Pemerintah sedang berdiri di pihak Brown yang kemungkinan besar dapat
membuat mukjizat. Mukjizat hanya terjadi ketika dana sisa lebih perhitungan
anggaran (Silpa) misalnya, dapat digunakan secara bertanggungjawab dengan perencanaan
yang matang. Mukjizat hanya dapat terjadi ketika dana silpa dapat digunakan
secara kreatif untuk pelayanan publik.
Karena itu, di tengah situasi seperti ini omong kosong kalau soal pembelian
mobil dinas dianggap sangat mendesak. Mukjizat hanya dapat terjadi kalau
kasus-kasus semisal Bendungan Sutami di Mbay itu tidak terus terulang.
Mukjizat, karena itu, bukan hanya
soal keprihatinan pihak internasional pada kemiskinan di NTT (PK, Selasa,
14/11/2006) tetapi bagaimana uang dikelola dan digunakan secara kreatif dan
bertanggungjawab untuk kepentingan publik. Benar, hujan tidak turun hanya untuk
bunga-bunga tetapi juga untuk ilalang. Soalnya adalah, bencana datang mestinya
untuk semua tetapi nyatanya bencana sudah ditakdirkan untuk para sengsarawan bukan
bangsawan.
*Pernah terbit di Pos Kupang, Senin, 20 November 2006
Comments
Post a Comment