Arogansi Rasionalitas Ekonomis dan Krisis Spiritualitas
Oleh Luis Aman*
Konfrensi PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) di
Nusa Dua, Bali, 3-14 Desember 2007 lalu tentu sangat relevan dengan wajah NTT
tahun-tahun terakhir. Aneka bencana tak henti mendera kita dalam selang waktu
yang tak terpaut jauh. Mulai dari longsor besar di Manggarai awal maret 2007
yang mengorbankan banyak nyawa dan melenyapkan kampung halaman. Kemudian banjir
di kota Kupang. Kekeringan dan rawan pangan yang terjadi di mana-mana, yang
diikuti berbagai kasus gizi kurang, gizi buruk dan busung lapar (marasmus
kwarsiorkor) yang mengerikan, yang membunuh masa depan banyak
anak NTT. Lalu angin puting beliung yang ‘merata-tanahkan’ rumah-rumah para
petani sederhana di TTU, kabupaten Kupang dan Ngada. Begitu pula badai yang
menenggelamkan kapal motor layar Surya Jaya di perairan Flores, amukan ombak di
Pantai Nangamese (Ende) yang merenggut jiwa dua pemuda dan di Oetune (Soe) yang
menelan nyawa dua gadis belia. Berikut gelombang laut yang menghempas habis
rumah-rumah para nelayan kecil di Sika, sampai yang terakhir kembali petaka
banjir memakan korban di Manggarai dan di beberapa tempat lainnya.
Awasan bahaya kerusakan lingkungan bukan hanya
karena efek besarnya bagi anak cucu di kemudian hari, melainkan terutama karena
bahaya negatif yang dihasilkannya sudah mulai dirasakan sekarang. Kita sungguh tengah
hidup di zaman badai; di era pemanasan global. Menipisnya lapisan ozon (yang
menyebabkan pemanasan global) toh sudah diketahui sejak pertengahan tahun
1980-an. Pemanasan global menyebabkan mencairnya lapisan es di Benua Antartika.
Dalam tahun-tahun berikutnya kemudian diprediksikan bahwa permukaan air laut
global naik sampai 25 cm di akhir abad ke-20. Intergovernmental Panel on
Climate Change (IPCC) bahkan memprediksi kenaikan temperatur mencapai 2,50
sampai 10,40 C sampai periode seratus tahun mendatang dan
mengindikasikan bahwa pada tahun 2008 ini terjadi kenaikan permukaan air laut
setinggi 1 meter. Semuanya mengakibatkan ketidakseimbangan iklim. Di suatu
tempat terjadi bencana kekeringan, dan di tempat lainnya terjadi bencana
banjir. Apakah rentetan bencana yang melanda daerah kita tahun-tahun terakhir
ini dan pergeseran musim yang mulai terasa tidak cukup membuktikan kebenaran
prediksi-prediksi sebelumnya mengenai efek pemanasan global? Dan kalau demikian
halnya, mengapa semuanya mesti kita tanggung?
Proyek Keangkuhan
Tentu tidak semua bencana merupakan akibat ulah
manusia. Namun tak sedikit dari bencana-bencana selama ini yang tidak terlepas
dari kejahatan manusia terhadap alam. Sejak revolusi industri, manusia tak
puas-puasnya mengeruk alam untuk mendatangkan laba besar-besaran dan untuk
terus menumpukkan harta (kapitalisme) demi pemuasan hasrat kesenangan dan
kenikmatan pribadi (hedonisme). Konsentrasi industri yang mengeksploitasi alam
menjadi-jadi pada abad XX hingga abad XXI ini. Industri bukan lagi sebagai
‘euforia’ penemuan-penemuan baru semata sebagaimana ihwalnya, melainkan lebih
menjadi ekspresi keangkuhan manusia. Manusia jatuh dalam anggapan yang salah
bahwa teknologi berada di atas segalanya. Akselerasi teknologi begitu diyakini
mampu menjawab semua kebutuhan manusia dan lupa bahwa semuanya justeru sedang
menjadi sebuah megaproyek untuk menghancurkan bumi. Seiring dengan itu, ekonomi
pun berpusat pada pertumbuhan, tanpa memedulikan sumber daya fisik di bumi yang
secara praktis akan habis dan lingkungan hidup yang mempunyai batas (carrying
capacity) untuk menyerap limbah. Laju perkembangan ekonomi dan industri dengan berbagai eksesnya itu sungguh sulit terkendalikan.
Kondisi semacam ini yang Anthony Giddens sebut
sebagai manufactured uncertainty; suatu kondisi ketidakpastian
yang ditimbulkan manusia berkat teknologi yang diciptakannya sendiri. Terganggunya
lingkungan hidup yang ditandai dengan gejala pemanasan bumi, kerusakan ozon
(lapisan udara penangkis sinar ultraviolet yang sangat berbahaya bagi manusia),
polusi udara, air dan tanah, serta munculnya berbagai hama dan penyakit baru
akibat perkembangan teknologi pertanian, menjadi contoh yang jelas tentangnya.
Giddens dalam Jalan Ketiga (2000) menggambarkan kondisi tersebut dengan
metafor truk besar yang meluncur tanpa kendali (juggernaut). Tidak ada
satu manusia pun yang lolos dari situasi yang mengerikan itu dan tidak ada satu
manusia pun yang dapat menghentikanya. Yang ada hanyalah kepasrahan dan doa
mohon selamat.
‘Peringatan’ Giddens toh tak banyak digubris. Arogansi
kalkulasi ekonomis adalah kemapanan yang tak mudah diguncang. Sumber utama CO2
dari 30 negara maju saja, yang berpenduduk 20 persen dari penduduk dunia,
menyumbang dua pertiga emisi CO2 yang hanyalah satu dari gas-gas rumah kaca. Sedangkan negara berkembang yang
berpenduduk 80 persen dari penduduk dunia hanya menyumbang sepertiga emisi CO2.
Protokol Kyoto (Desember
1997) mewajibkan setiap negara industri mengurangi emisi-emisi dari 6 gas rumah
kaca dengan rata-rata lebih dari 5,2 persen selama 2008-2012. Namun melalui
surat tertanggal 12 Maret 2001, Amerika Serikat membatalkan kesepakatannya. Alasannya,
CO2 bukan salah satu zat pencemar (emiten) dan akan mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi AS. Padahal dari sektor transportasi saja, emisi CO2 Amerika Serikat
lebih besar dari total emisi seluruh dunia di sektor tersebut. Menghadapi
desakan banyak negara untuk kembali ke Protokol Kyoto, dalam UNFCCC di Bali,
negara adikuasa ini pun berargumen, ‘penurunan emisi karbon bahkan akan
merugikan negara-negara berkembang, sebab akan begitu banyak perusahaan negara
maju, khususnya yang berada di negara-negara berkembang harus ditutup.’
Sepintas terlihat, dilema ekologi-ekonomi menjadi
batu sandungan bagi penanganan kemelut ekologi global. Akan tetapi, perhatian
terhadap keduanya sesungguhnya tidak mesti mengurbankan satu demi yang lain.
Pengabaian ekologi justeru membawa kerugian ekonomi besar-besaran. Kerugian
dunia mencapai 300 milyar dollar AS per tahun akibat dampak perubahan iklim dan
berkurangnya kemampuan hutan sebagai penyerap karbon (carbon sink). Hanya
saja pengurangan emisi karbon merupakan ancaman serius bagi kemapanan ekonomi
negara-negara maju (yang selama ini imbasnya lebih sering distor ke
negara-negara berkembang), sehingga Amerika sangat sulit menyetujui protokol
Kyoto.
Krisis Spiritualitas Manusia
Perkembangan teknologi juga membonceng
ideologi-ideologi destruktif semodel hedonisme, materialisme, kapitalisme,
individualisme, yang menyerang habis-habisan ranah spiritualitas manusia
modern. “Tidak sulit untuk membuktikan bahwa pemberhalaan benda dan
pengingkaran realitas Ilahi (materialisme), pendewaan manusia (humanisme),
kekuasaan (kolonialisme), dan sebagainya merupakan landasan filosofis dan
intelektual bagi munculnya kebudayaan modern”, tulis Seyyed Hossein Nasr dalam Man
and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (1976). Kebiasaan destruktif
manusia terhadap alam merupakan salah satu manifestasi krisis spiritualitas.
“Menangnya humanisme-antroposentris yang memutlakkan si manusia, membuat
bumi diperkosa atas nama hak-hak manusia” (Heryanto, 2007).
Manusia perlahan kehilangan rasa keberasalan atau
rasa sebagai bagian dari alam, dan kekurangan spirit bersatu dengan lingkungan
sekitarnya. Manusia tak peka lagi terhadap sentuhan yang menghidupkan dari
alam, dan lupa bahwa alam adalah muasal segala energi yang membuat manusia
tetap ada, hidup dan berkembang. Orientasi kesadaran dan tindakan malah lebih
kepada pemuasan hasrat dominasi terhadap bumi daripada membangun tatanan
kehidupan yang selaras dengannya. Kerinduan akan kenyamanan dan keteduhan dalam
alam telah digeser oleh hasrat untuk mendapatkan kepuasan dalam penumpukan
harta dan barang-barang mewah, kendati lebih sering menjadi kepuasan palsu
semata. Kebijaksanaan-kebijaksanaan lokal yang menunjukkan relasi yang sangat
akrab dengan alam sekitar pun perlahan terkikis dan diterlantarkan. Memang
pantas bila alam kelihatan tak seramah dulu lagi berhadapan dengan kita
manusia.
Akan tetapi, kita toh tampaknya belum serius
berupaya mengembalikan wajah bumi kita. Desakan pengurangan emisi gas bagi
negara-negara maju hanyalah contoh desakan untuk meninggalkan apa yang susah
ditinggalkan. Kita kadang susah meninggalkan apa yang hanya sesaat
menguntungkan. Yang didesak sebenarnya adalah solidaritas bagi semua orang dan
kerugian yang mesti dikorbankan untuk itu. Yang sedang diharapkan di sana
adalah kerelaan untuk menanggalkan kecenderungan memakai kalkulasi ekonomis semata
untuk melestarikan alam, mengingat alam selalu gratis memberi bagi manusia. Dan
dalam kerangka berpikir semacam ini, kita sebenarnya juga tengah dituntut untuk
memikirkan apa yang mesti kita tinggalkan dan yang harus kita buat dan
sumbangkan untuk menjaga kelangsungan hidup di muka bumi. Kebiasaan-kebiasaan
kita sering menunjukkan fakta “pro-kontra” terhadap pelestarian alam.
Kebiasaan-kebiasaan lama kita yang tidak selaras alam itu sering sangat susah
ditinggalkan. Yang sudah biasa, sudah mapan dan sudah lazim umumnya tak mudah
diubah. Padahal kebanyakan biang ketidakmajuan justeru kemalasan dan keengganan
untuk meningggalkan yang lama. Begitupun dalam persoalan lingkungan, hanya
dengan berhenti membuang sampah yang tidak lapuk seperti botol, plastik, kaca,
dan sebagainya (yang butuh ±1000 tahun untuk terurai) di jalan-jalan, di laut,
di sungai, di kebun, maka kita akan mampu menyelamatkan bumi. Hanya dengan
tidak serampangan merambah hutan maka kita akan meluputkan kota Kupang,
Waingapu, Maumere, Atapupu, Labuan Bajo, Larantuka, Ende, Borong, dan kota-kota
pantai lainnya dari bahaya tertelan lautan ketika es di kutub mencair. Hanya
dengan mulai giat menanam dan merawat pohon maka kita akan menghindarkan bumi
dari bahaya kekeringan, tanah longsor, banjir serta pergeseran musim yang sudah
mulai menunjukkan tampangnya akhir-akhir ini.
Logika alam jelas tak
kuasa ditepis logika ekonomi manusia. Ketika manusia berupaya mengembangkan
ekonomi secara raksasa dengan mengabaikan logika alam, alam tetap berjalan
mencari keseimbangannya. Ia punya ‘jalan pikirannya’ sendiri yang melampaui
keangkuhan rasionalitas ekonomis manusia yang selalu mengambil jarak
terhadapnya dan menjadikannya sebagai objek pengerukan. Logika alam secara
absolut menuntut manusia sebagai bagian dari alam menghidupi spiritualitas
selaras alam. Dengannya, orientasi penakhlukan dan penumpukkan kapital diganti
dengan orientasi ‘kembali ke alam’ dan bersatu dengan bumi sebagai muasal dan
muara segala yang ada dan hidup.
*Pernah diterbitkan Flores Pos, Senin 28 April 2008
Comments
Post a Comment